Senin, 21 Januari 2013

Kepemimpinan Bugis Dalam La Galigo



Manusia Bugis, Manusia Pemimpin Ideal J
Beberapa pekan ini rentetan pengalaman yang saya lalui merujut pada malam hari ini, di wisma mahasiswi wajo Yogyakarta. Pekan lalu menghadiri seminar nasional di salah satu hotel yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional sebagai pematerinya. Tidak lupa gubernur DIY sebagai key note speaker nya. Tema seminat tersebut adalah Rakyat Mencari pemimpin. Para pemateri memaparkan materi dengan menyajikan bagaimana sosok pemimpin ideal, sampai pada menyebut 3 tokoh utama berdasarkan salah satu lembaga survey yang mencolok di permukaan public yang diandalkan sebagai pemenang presiden 2014.
Di lain tempat juga bertemu dengan salah satu teman yang berasal dari kampung yang sama namun telah memperistrikan wanita sumatera. Pertemuan ini menarik karena kami berdiskusi tentang manusia Bugis. Yang menarik adalah mendiskusikan peranan orang bugis dalam pemerintahan. Mereka terkesan saling mendukung menempatkan pada posisi strategis.
Kejadian ketiga, kemarin mendapat pesan dari salah teman di Makassar, meminta vote online salah satu kendidat calon walikota Makassar. Namun sebelum saya vote, saya bertanya pada teman, dia orang Bugis? ;) menurut ku Makassar harus dipimpin oleh manusia bugis sebagaimana sebelumnya yang keturunan bugis. Kenapa? Mudah saja karena dari manusia bugis inilah Makassar telah kelihatan bentuknya di tahun 2020 sebagai kota dunia, keren tawwa J
Terakhir malam ini, pengalaman tidak terlupakan bertemu dengan salah satu guru besar yang fokus studynya La Galigo. Dari sekian pemikiran yang dibagi, saya tertarik pada tema utama yang diangkat oleh teman-teman panitia, mengenai konsep manusia bugis dalam La Galigo. Lebih dalam lagi mengenai bagaimana manusia bugis itu dalam kehidupan sosial.
Cerita dalam “kitab” La Galigo tersebut menceritakan “real self” manusia Bugis yaitu Macca, Malempu, Magetteng dan Burane. Kemudian oleh saya merumuskan bahwa keempat nya merupakan haruslah menjadi pondasi ideal pemimpin bangsa Indonesia. Artinya bahwa, pemimpin harus memiliki 4 karakter bugis ini. Macca dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai cerdas. Manusia yang cerdas dari komunitas bugis adalah bisa dilihat pada abad ke VII telah mampu memberi bahasa komunikasi yang dikenal sebagai Lontara dan antara abad VII sampai X telah menyusun I la galigo. Sebuah komunitas sosial yang telah membangun budaya bahasa dalam komunikasinya.
Malempu yaitu jujur. Manusia Bugis telah dikenal sebagai pelaut ulung, selain untuk konsumsi juga untuk perdagangan. Usaha perdagangan oleh orang Bugis bukan hanya di nusantara namun sampai ke luar. Hanya dengan “malempu” inilah yang dapat membuat mereka dapat dipercaya. Selanjutnya adalah Magetteng yang dapat diartikan dalam bahasa Indonesia adalah teguh pendirian. Pemimpin adalah mereka yang bisa memegang perkataannya walaupun pahit. Manusia bugis selalu diajarkan bahwa apabila sudah meludah, harum hukumnya untuk menjilat lagi, hal ini dapat dimaknai dengan ucapan yang telah disebutkan sebelumnya, akan berdosa apabila ditarik kembali. Manusia bugis adalah manusia yang tidak mengenal abu-abu melainkan hanya hitam dan putih. Hal ini menandakan bahwa, manusia bugis merupakan seiya sekata.
Terakhir adalah burane. Burane dimaknai sebagai berani. Berani dalam mengambil resiko. Karakter ini biasanya di simbolkan sebagai “kuwali”. Maka tidak mengherankan kalau alat ini selalu menemani “tuannya” kemana pun pergi atau walau hanya di simpan di rumah sebagai bentuk keberanian.
Namun demikian, dewasa ini yang menjadi tantangan besar bagi generasi muda Bugis adalah membawa karakter idea tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tentu banyak tantangan yang dihadapi termasuk tulisan atau literature yang masih kurang, global isu yang semakin berkembang mempengaruhi life style, dan kesakralan yang terlalu para orang tua bugis dalam membagi ilmunya serta dalam diri generasi muda yaitu kebanggaan akan budaya kita sendiri.
Ke empat tantangan ini akan menjadi kenyataan pahit apabila tidak dapat ditemukan solusi yang tepat dalam menghadapinya. Kebudayaan bugis yang bahkan mendapat apresiasi dunia akan semakin terpinggrikan oleh perkembangan kebudayaan barat yang tentunya tidak sesuai dengan nilai-nilai local. Generasi tidak merasa bangga lagi berbahasa ibu (bahasa bugis)mesti dalam rumah sendiri. Merasa malu dan dianggap katro dengan menggunakan cirri khas kebugisan. Sudah tidak menjadi pilihan yang menarik dalam jenjang pendidikan. Pada saat itulah budaya ini akan hilang.
Namun, boleh lah kita berbangga dengan orang yang masih ada (tersisa) memahami arti penting dari kebudayaan ini. Bangsa kita hadir berdasar pada “kampung halaman” kita masing-masing. Ada yang berasal dari kampung halaman Jawa, Sunda, Makassar dan lainnya. Forum diskusi kajian budaya sulselbar merupakan ruang yang tepat dalam berbagi dan menampakkan bahwa kebudayaan itu akan tetap bertahan. Ide membuat games dan komik ataupun pemantasan kebudayaan yang di usung oleh lontara project akan menjadi “sulo” kegelapan karena dengan budayalah manusia akan menjadi lebih bijak. “what makes you sane in the crazy world” (apa yang membuatmu sadar di dunia yang gila). Semoga budaya kita “bugis” masih menjadi filter kuat dalam serangan budaya “crazy”. Bangga menjadi Bugis.
Tabe’
Boleh lah dikoreksi tulisan dan idenya J

Nb: Tulisan ini merupakan hasil diskusi oleh Bunda Nurhayati Rahman (Guru Besar Univ. Hasanuddin Makassar)

0 komentar: