Kepemimpinan Bugis Dalam La Galigo
Manusia Bugis,
Manusia Pemimpin Ideal J
Beberapa
pekan ini rentetan pengalaman yang saya lalui merujut pada malam hari ini, di
wisma mahasiswi wajo Yogyakarta. Pekan lalu menghadiri seminar nasional di salah satu
hotel yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional sebagai pematerinya. Tidak lupa
gubernur DIY sebagai key note speaker nya. Tema seminat tersebut adalah Rakyat
Mencari pemimpin. Para pemateri memaparkan materi dengan menyajikan bagaimana
sosok pemimpin ideal, sampai pada menyebut 3 tokoh utama berdasarkan salah satu
lembaga survey yang mencolok di permukaan public yang diandalkan sebagai
pemenang presiden 2014.
Di
lain tempat juga bertemu dengan salah satu teman yang berasal dari kampung yang
sama namun telah memperistrikan wanita sumatera. Pertemuan ini menarik karena
kami berdiskusi tentang manusia Bugis. Yang menarik adalah mendiskusikan peranan
orang bugis dalam pemerintahan. Mereka terkesan saling mendukung menempatkan
pada posisi strategis.
Kejadian
ketiga, kemarin mendapat pesan dari salah teman di Makassar, meminta vote
online salah satu kendidat calon walikota Makassar. Namun sebelum saya vote,
saya bertanya pada teman, dia orang Bugis? ;) menurut ku Makassar harus
dipimpin oleh manusia bugis sebagaimana sebelumnya yang keturunan bugis.
Kenapa? Mudah saja karena dari manusia bugis inilah Makassar telah kelihatan
bentuknya di tahun 2020 sebagai kota dunia, keren tawwa J
Terakhir
malam ini, pengalaman tidak terlupakan bertemu dengan salah satu guru besar
yang fokus studynya La Galigo. Dari sekian pemikiran yang dibagi, saya tertarik
pada tema utama yang diangkat oleh teman-teman panitia, mengenai konsep manusia
bugis dalam La Galigo. Lebih dalam lagi mengenai bagaimana manusia bugis itu dalam
kehidupan sosial.
Cerita
dalam “kitab” La Galigo tersebut menceritakan “real self” manusia Bugis yaitu
Macca, Malempu, Magetteng dan Burane. Kemudian oleh saya merumuskan bahwa
keempat nya merupakan haruslah menjadi pondasi ideal pemimpin bangsa Indonesia.
Artinya bahwa, pemimpin harus memiliki 4 karakter bugis ini. Macca dalam bahasa
Indonesia bisa diartikan sebagai cerdas. Manusia yang cerdas dari komunitas
bugis adalah bisa dilihat pada abad ke VII telah mampu memberi bahasa
komunikasi yang dikenal sebagai Lontara dan antara abad VII sampai X telah
menyusun I la galigo. Sebuah komunitas sosial yang telah membangun budaya
bahasa dalam komunikasinya.
Malempu
yaitu jujur. Manusia Bugis telah dikenal sebagai pelaut ulung, selain untuk
konsumsi juga untuk perdagangan. Usaha perdagangan oleh orang Bugis bukan hanya
di nusantara namun sampai ke luar. Hanya dengan “malempu” inilah yang dapat
membuat mereka dapat dipercaya. Selanjutnya adalah Magetteng yang dapat
diartikan dalam bahasa Indonesia adalah teguh pendirian. Pemimpin adalah mereka
yang bisa memegang perkataannya walaupun pahit. Manusia bugis selalu diajarkan
bahwa apabila sudah meludah, harum hukumnya untuk menjilat lagi, hal ini dapat
dimaknai dengan ucapan yang telah disebutkan sebelumnya, akan berdosa apabila
ditarik kembali. Manusia bugis adalah manusia yang tidak mengenal abu-abu
melainkan hanya hitam dan putih. Hal ini menandakan bahwa, manusia bugis
merupakan seiya sekata.
Terakhir
adalah burane. Burane dimaknai sebagai berani. Berani dalam mengambil resiko.
Karakter ini biasanya di simbolkan sebagai “kuwali”. Maka tidak mengherankan
kalau alat ini selalu menemani “tuannya” kemana pun pergi atau walau hanya di
simpan di rumah sebagai bentuk keberanian.
Namun
demikian, dewasa ini yang menjadi tantangan besar bagi generasi muda Bugis
adalah membawa karakter idea tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tentu banyak
tantangan yang dihadapi termasuk tulisan atau literature yang masih kurang,
global isu yang semakin berkembang mempengaruhi life style, dan kesakralan yang
terlalu para orang tua bugis dalam membagi ilmunya serta dalam diri generasi
muda yaitu kebanggaan akan budaya kita sendiri.
Ke
empat tantangan ini akan menjadi kenyataan pahit apabila tidak dapat ditemukan
solusi yang tepat dalam menghadapinya. Kebudayaan bugis yang bahkan mendapat
apresiasi dunia akan semakin terpinggrikan oleh perkembangan kebudayaan barat
yang tentunya tidak sesuai dengan nilai-nilai local. Generasi tidak merasa
bangga lagi berbahasa ibu (bahasa bugis)mesti dalam rumah sendiri. Merasa malu
dan dianggap katro dengan menggunakan cirri khas kebugisan. Sudah tidak menjadi
pilihan yang menarik dalam jenjang pendidikan. Pada saat itulah budaya ini akan
hilang.
Namun,
boleh lah kita berbangga dengan orang yang masih ada (tersisa) memahami arti
penting dari kebudayaan ini. Bangsa kita hadir berdasar pada “kampung halaman”
kita masing-masing. Ada yang berasal dari kampung halaman Jawa, Sunda, Makassar
dan lainnya. Forum diskusi kajian budaya sulselbar merupakan ruang yang tepat
dalam berbagi dan menampakkan bahwa kebudayaan itu akan tetap bertahan. Ide
membuat games dan komik ataupun pemantasan kebudayaan yang di usung oleh
lontara project akan menjadi “sulo” kegelapan karena dengan budayalah manusia
akan menjadi lebih bijak. “what makes you sane in the crazy world” (apa yang
membuatmu sadar di dunia yang gila). Semoga budaya kita “bugis” masih menjadi
filter kuat dalam serangan budaya “crazy”. Bangga menjadi Bugis.
Tabe’
Boleh
lah dikoreksi tulisan dan idenya J
Nb: Tulisan ini merupakan hasil diskusi oleh Bunda Nurhayati Rahman (Guru Besar Univ. Hasanuddin Makassar)
0 komentar: