Kelasku Terasa Bagaikan Penjara
Martabat suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas bangsa itu
sendiri yang dapat diukur dari tingginya sumber daya manusianya. Para
pakar sama-sama setuju bahwa jalan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia adalah dengan pendidikan. Dunia pendidikan memegang peranan
yang betul-betul penting. Oleh karena itu, sampai sekarang, pendidikan
masih dianggap sebagai investasi nasional, investasi terhadap manusia.
Keadaan dan eksistensi Negara pada masa mendatang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini. Karena langkah untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah dengan pendidikan, maka sorotan utama tertuju pada pendidikan formal di sekolah. Sayangnya daya tarik sekolah mengalami kemerosotan. Degradasi tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi. Mulai segi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Banyak fakta yang dapat menyokong pendapat ini, di antaranya makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran di luar lingkungan sekolah pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, melambungnya perhatian masyarakat untuk lebih senang menyerbu fasilitas hiburan daripada fasilitas pendidikan, dan masih suburnya rasa malas yang bercokol dalam diri hampir sebagian besar orang.
Guru sebagai pemegang peranan penting dalam proses pembelajaran dalam ruangan kelas menjadi perhatian utama. Meskipun telah banyak yang mengkritik metode pengajaran di sekolah yang terkesan serampangan, reaksi positifnya belum terlihat secara nyata. Sampai kini pun, metode mengajar konvensional masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru. Metode konvensional adalah metode mengajar dengan mengkondisikan murid-murid untuk menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, baik mereka memahami maupun tidak. Mengajar dengan metode ini bersifat dogmatis dan otoriter. Metode tersebut sangat sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik belajar mandiri di luar sekolah.
Dengan metode ini, guru yang – karena kurang menguasai bahan – mengambil langkah mudah, yaitu dengan meringkas isi buku untuk dicatat para siswa. Atau, menghafalkan kata-kata dalam buku agar keesokan harinya dapat didiktekkan kepada murid di dalam kelas. Ilmu guru yang demikian bisa dikatakan cuma lebih tua satu malam daripada murid. Aplikasi metode ini pun dapat dilihat pada pendekatan guru yang otoriter. Guru menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, sehingga mengharuskan setiap murid menerima apa saja yang dikatakannya, yang satu sebatas memberi dan yang lain sekadar menerima.
Oleh penulis menyebut metode ini sebagai “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung melemahkan kebebasan berpikir dan mematikan rasa ingin tahu. Dalam proses pembelajaran, siswa bersikap pasif. Mereka menelan mentah-mentah ilmu yang disodorkan, dalam menyerap pelajaran pun sekedar menghafal buku catatan. Dalam praktek lainnya, dapat dilihat dengan pemakaian Lembar Kerja Siswa (LKS), dengannya guru akan lebih merasa bebas karena akan tertolong dan dengannya pula akan menguntungkan secara ekonomi. Ada lelucon tentang guru yang mengandalkan LKS ini, yaitu satu jam pelajaran dibagi atas empat bagian. Ketika lonceng tanda masuk berbunyi, guru mondar-mandir seperempat jam. Seperampat jam berikutnya, guru masuk kelas dan mengabsen siswa. Dilanjutkan dengan marah-marah selama seperempat jam. Seperampat jam yang tersedia digunakan untuk mengerjakan isi buku. Inilah fungsi LKS yang akan menolong guru. Secara ekonomi, tentunya menjadi pendapatan yang untungnya sudah pasti dapat dihitung, bahkan seorang guru dapat menjual dua jenis LKS dengan mata pelajaran yang sama.
Proses pembelajaran yang demikian inilah yang menyebabkan suasana kelas dan belajar menjadi serba membosankan. Tak heran jika hampir setiap hari ada saja murid yang sengaja membolos. Maka, tidak berlaku lagi kata-kata mutiara yang berbunyi “kelasku adalah istanaku”. Tetapi, yang terjadi adalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.
Tidak ada siswa yang bodoh melainkan lahir dari guru yang kurang kreatif. Menjadi keyakinan bahwa kreatifitas seorang guru akan sangat mempengaruhi kondisi kelas yang pastinya akan menjadi stimulan yang baik dalam mengundang perhatian siswa. Pemberian label bodoh dan nakal pada siswa malah akan mengganggu perkembangan kepribadian siswa.
Rumusan metode pembelajaran selalu didiskusikan baik pemerintah maupun organisasi pemerhati pendidikan, namun secara sederhana apapun metode yang digunakan sepanjang guru mengajar dengan asal-asalan maka tujuan pendidikan adalah hal yang mustahil dicapai. Sangat mustahil jika guru-guru yang demikian dapat berfungsi sebagai peningkat kualitas, konselor, motivator, dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru mampu berpartisipasi secara optimal dalam pendidikan jika ia sendiri belum menampakkan kualitas diri. Guru adalah profesi yang tidak boleh berhenti belajar. Ini karena belajar adalah kata kunci untuk tiga hal penting bagi profesi guru, yaitu paradigma (ilmu pengetahuan), cara (kompetensi) dan komitmen (perilaku). Untuk itu, kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas diri dan pendidikan. Andaikan mereka mengikuti penataran, misalnya, janganlah hanya mengharapkan sertifikat untuk menaikkan kredit poin. Apalagi malah bersikap pasif terhadap perkembangan pendidikan. Tidak ada tempat lagi bagi guru untuk selalu berlindung dibalik alasan untuk tidak belajar. Menyempatkan waktu untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat akan dapat menambah wawasan. Harapannya, guru dapat menjadi insan yang berkualitas sehingga dapat mendidik murid-murid menjadi sumber daya manusia yang tercerahkan.
Keadaan dan eksistensi Negara pada masa mendatang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia sekarang ini. Karena langkah untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah dengan pendidikan, maka sorotan utama tertuju pada pendidikan formal di sekolah. Sayangnya daya tarik sekolah mengalami kemerosotan. Degradasi tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi. Mulai segi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Banyak fakta yang dapat menyokong pendapat ini, di antaranya makin banyaknya anak-anak sekolah yang berkeliaran di luar lingkungan sekolah pada jam belajar efektif, pelaksanaan disiplin yang macet, melambungnya perhatian masyarakat untuk lebih senang menyerbu fasilitas hiburan daripada fasilitas pendidikan, dan masih suburnya rasa malas yang bercokol dalam diri hampir sebagian besar orang.
Guru sebagai pemegang peranan penting dalam proses pembelajaran dalam ruangan kelas menjadi perhatian utama. Meskipun telah banyak yang mengkritik metode pengajaran di sekolah yang terkesan serampangan, reaksi positifnya belum terlihat secara nyata. Sampai kini pun, metode mengajar konvensional masih cukup banyak digandrungi oleh guru-guru. Metode konvensional adalah metode mengajar dengan mengkondisikan murid-murid untuk menghafal teks demi teks catatan yang diberikan oleh guru, baik mereka memahami maupun tidak. Mengajar dengan metode ini bersifat dogmatis dan otoriter. Metode tersebut sangat sedikit mendorong murid untuk bertanya dan bersikap kritis atau tertarik belajar mandiri di luar sekolah.
Dengan metode ini, guru yang – karena kurang menguasai bahan – mengambil langkah mudah, yaitu dengan meringkas isi buku untuk dicatat para siswa. Atau, menghafalkan kata-kata dalam buku agar keesokan harinya dapat didiktekkan kepada murid di dalam kelas. Ilmu guru yang demikian bisa dikatakan cuma lebih tua satu malam daripada murid. Aplikasi metode ini pun dapat dilihat pada pendekatan guru yang otoriter. Guru menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, sehingga mengharuskan setiap murid menerima apa saja yang dikatakannya, yang satu sebatas memberi dan yang lain sekadar menerima.
Oleh penulis menyebut metode ini sebagai “cerek dan cangkir”. Gaya mengajar ini cenderung melemahkan kebebasan berpikir dan mematikan rasa ingin tahu. Dalam proses pembelajaran, siswa bersikap pasif. Mereka menelan mentah-mentah ilmu yang disodorkan, dalam menyerap pelajaran pun sekedar menghafal buku catatan. Dalam praktek lainnya, dapat dilihat dengan pemakaian Lembar Kerja Siswa (LKS), dengannya guru akan lebih merasa bebas karena akan tertolong dan dengannya pula akan menguntungkan secara ekonomi. Ada lelucon tentang guru yang mengandalkan LKS ini, yaitu satu jam pelajaran dibagi atas empat bagian. Ketika lonceng tanda masuk berbunyi, guru mondar-mandir seperempat jam. Seperampat jam berikutnya, guru masuk kelas dan mengabsen siswa. Dilanjutkan dengan marah-marah selama seperempat jam. Seperampat jam yang tersedia digunakan untuk mengerjakan isi buku. Inilah fungsi LKS yang akan menolong guru. Secara ekonomi, tentunya menjadi pendapatan yang untungnya sudah pasti dapat dihitung, bahkan seorang guru dapat menjual dua jenis LKS dengan mata pelajaran yang sama.
Proses pembelajaran yang demikian inilah yang menyebabkan suasana kelas dan belajar menjadi serba membosankan. Tak heran jika hampir setiap hari ada saja murid yang sengaja membolos. Maka, tidak berlaku lagi kata-kata mutiara yang berbunyi “kelasku adalah istanaku”. Tetapi, yang terjadi adalah “kelasku terasa bagaikan penjara”.
Tidak ada siswa yang bodoh melainkan lahir dari guru yang kurang kreatif. Menjadi keyakinan bahwa kreatifitas seorang guru akan sangat mempengaruhi kondisi kelas yang pastinya akan menjadi stimulan yang baik dalam mengundang perhatian siswa. Pemberian label bodoh dan nakal pada siswa malah akan mengganggu perkembangan kepribadian siswa.
Rumusan metode pembelajaran selalu didiskusikan baik pemerintah maupun organisasi pemerhati pendidikan, namun secara sederhana apapun metode yang digunakan sepanjang guru mengajar dengan asal-asalan maka tujuan pendidikan adalah hal yang mustahil dicapai. Sangat mustahil jika guru-guru yang demikian dapat berfungsi sebagai peningkat kualitas, konselor, motivator, dan fasilitator bagi murid-murid. Mustahil pula seorang guru mampu berpartisipasi secara optimal dalam pendidikan jika ia sendiri belum menampakkan kualitas diri. Guru adalah profesi yang tidak boleh berhenti belajar. Ini karena belajar adalah kata kunci untuk tiga hal penting bagi profesi guru, yaitu paradigma (ilmu pengetahuan), cara (kompetensi) dan komitmen (perilaku). Untuk itu, kita mengharapkan agar guru-guru bersikap tulus dalam meningkatkan kualitas diri dan pendidikan. Andaikan mereka mengikuti penataran, misalnya, janganlah hanya mengharapkan sertifikat untuk menaikkan kredit poin. Apalagi malah bersikap pasif terhadap perkembangan pendidikan. Tidak ada tempat lagi bagi guru untuk selalu berlindung dibalik alasan untuk tidak belajar. Menyempatkan waktu untuk menyentuh buku-buku yang bermanfaat akan dapat menambah wawasan. Harapannya, guru dapat menjadi insan yang berkualitas sehingga dapat mendidik murid-murid menjadi sumber daya manusia yang tercerahkan.
cerdas bang... kritikanmu benar2 apa adanya.
BalasHapusperspektif yang diamil menarik
tulisan ini sudah lama brother Saddam sekitar tahun 2010, tentu (mungkin) sudah tidak relevan dengan realitas sekarang,, terima kasih uda mampir :)
BalasHapus