Kamis, 11 Oktober 2012

Palettui alemu riolo tejjokamu


Tulisan ini hadir setelah membaca salah satu tulisan dari kanda Suryadin Laoddang pada tautan berikut ini http://www.suryadinlaoddang.com/2012/06/falsafah-rantau-orang-bugis.html. Bukan untuk mengoreksi salah satu bahagian dari tulisan tersebut akan tetapi cuma ingin memberi makna lain dari sebuah ungkapan yang ada dalam tulisan oleh kanda Adin tersebut.
Dalam note itu di tulis mengenai falsafah orang bugis yang doyang merantau. Pertanyaan orang non bugis atau bahkan orang bugis sendiri yang tidak mengetahui kenapa mereka senang dengan pergi merantau mencari nafkah di tempat orang lain. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh daeng Adin dengan beberapa falsafah, salah satu diantaranya adalah palettui alemu riolo tejjokamu. Ungkapan ini oleh penggiat budaya di bumi mataram ;) ini dijelaskan dengan memberi makna secara fisik atau biologis. Modal orang bugis ketika ingin merantau adalah dengan mengetahui geografis wilayah yang hendak di tujuh. Ini akan menjadi modal penting karena dengannya maka calon perantau tidak akan pergi dengan buta. Calon perantau ini akan mengetahui bagaimana mereka akan survive di wilayah tersebut. Penulis yang juga merupakan satu almamater dengan saya (bangga tomma ini ;) ) pada salah satu PTS di Jogja ini memberi contoh mengenai tingkat keramaian di wilayah akan di tujuh kemudian membandingkan dengan asal daerah kita (penjelasan lebih jelasnya dapat di baca langsung pada tautan di atas).
Daeng Adin yang merupakan kelahiran bugis Wajo (letaknya kurang tau-sengkang atau bellawa atau …) telah memberi pengetahuan baru. Hal ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya, tentu dengan perbandingan pengetahuan yang pernah saya dapat sebelumnya dari orang tua maupun sumber bacaan. Hal yang menjadi pertanyaan bagi saya, kalau dengan pengertian yang diberikan sebagaimana tulisannya bahwa calon perantau mencari informasi sebelumnya, bisa dengan cerita teman yang telah pergi sebelumnya atau media lainnya berarti bahwa dalam falsafah ini diterjemahkan orang bugis menggunakan inderanya dalam hal ini bisa berupa mata dan telinga yang digunakan untuk mengumpulkan informasi. Bukankah ini akan mengurangi makna spritual dari ungkapan tersebut?
Di Bugis Bone, ungkapan ini lebih familiar dengan lettu memeng no dolo nappako lokka. Dalam terjemahan ke bahasa Indonesia memiliki pengertian yang sama dengan palettui alemu riolo tejjokamu. yang membedakan keduanya karena adanya sedikit perbedaan pada beberapa baik kosa kata maupun intonasi bugis Bone dan Wajo. Kalau diartikan per kata maka dapat diartikan bahwa lettu (sampai) memeng no dolo (terlebih dahulu), alemu (dirimu), nappako (sebelum), lokka (berangkat) atau sampailah terlebih dahulu sebelum berangkat.
Ungkapan ini juga dikutip oleh salah satu buku pengembangan diri Zona Ikhlas oleh Erbe Sentanu yang juga penulis Quantum Ikhlas. Menurut Erbe sentanu, ungkapan ini bermakna bahwa cara orang bugis dalam menggunakan teknik afirmasi yang berarti bahwa menghadirkan suatu kejadian sebelum terjadi. Kekuatan afirmasi ini dilakukan tanpa menggunakan indera biologis. Namun demikian menggunakan mata hati dengan cara membayangkan suatu harapan yang diinginkan.
Pada buku yang lain, meski tidak mengutip ungkapan bugis ini, namun memliki makna yang sama. bisa kita baca buku the secret (Amerika) yang sempat booming tahun 2005 an kemudian oleh penulis Indonesia juga beramai-ramai menulis dengan maksud yang hampir sama. the secret menjelaskan tentang the law of attraction yang bermakna bahwa adanya hubungan antara pikiran dengan alam semesta. Olehnya dengan memikirkan sesuatu yang diinginkan maka semesta ini akan meresponnya.
Begitu pula dengan buku best seller lainnya the seven habit dari Amerika juga menggunakan teknik afirmasi ini. Penulis mengatakan pada salah satu kebiasaan orang sukses yaitu begin from the end. Catatan ini bermakna bahwa mulailah dari akhir, bagaimana caranya? Menurut penulis bisa dilakukan dengan membayangkan sesuatu telah selesai sebelum memulainya, sebagai contoh ketika kita ingin membeli mobil maka bayangkanlah bahwa kita sudah memiliki mobil tersebut dan telah berada dalam mobil tersebut. Selain itu, ketika ingin membangun rumah maka lihatlah rumah tersebut telah selesai dan kita telah berada dalam rumah tersebut.
Begitu pun dengan berbagai pengalaman pribadi yang sempat menjadi percakapan rumit logika. Dalam keluarga maupun beberapa orang yang pernah kujumpai menjadikan lokalitas ini menjadi sebuah “ajian”. Akal sederhana saya hanya bisa mencerna bahwa ungkapan diatas memiliki makna falsafah yang tinggi. Kearifan lokal yang kita miliki selayaknya menjadi pembelajaran bagi generasi hari ini hingga kita mampu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah mungkin kita menyamakan ungkapan bugis ini dengan istilah dari luar (begin from the end atau the law of attraction)? tabe’ puang J

0 komentar: