Palettui alemu riolo tejjokamu
Tulisan ini
hadir setelah membaca salah satu tulisan dari kanda Suryadin Laoddang pada
tautan berikut ini http://www.suryadinlaoddang.com/2012/06/falsafah-rantau-orang-bugis.html.
Bukan untuk mengoreksi salah satu bahagian dari tulisan tersebut akan tetapi cuma
ingin memberi makna lain dari sebuah ungkapan yang ada dalam tulisan oleh kanda
Adin tersebut.
Dalam note itu
di tulis mengenai falsafah orang bugis yang doyang merantau. Pertanyaan orang
non bugis atau bahkan orang bugis sendiri yang tidak mengetahui kenapa mereka
senang dengan pergi merantau mencari nafkah di tempat orang lain. Pertanyaan
ini kemudian dijawab oleh daeng Adin dengan beberapa falsafah, salah satu
diantaranya adalah palettui alemu riolo
tejjokamu. Ungkapan ini oleh penggiat budaya di bumi mataram ;) ini
dijelaskan dengan memberi makna secara fisik atau biologis. Modal orang bugis
ketika ingin merantau adalah dengan mengetahui geografis wilayah yang hendak di
tujuh. Ini akan menjadi modal penting karena dengannya maka calon perantau
tidak akan pergi dengan buta. Calon perantau
ini akan mengetahui bagaimana mereka akan survive
di wilayah tersebut. Penulis yang juga merupakan satu almamater dengan saya
(bangga tomma ini ;) ) pada salah satu PTS di Jogja ini memberi contoh mengenai
tingkat keramaian di wilayah akan di tujuh kemudian membandingkan dengan asal
daerah kita (penjelasan lebih jelasnya dapat di baca langsung pada tautan di
atas).
Daeng Adin yang
merupakan kelahiran bugis Wajo (letaknya kurang tau-sengkang atau bellawa atau
…) telah memberi pengetahuan baru. Hal ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya,
tentu dengan perbandingan pengetahuan yang pernah saya dapat sebelumnya dari
orang tua maupun sumber bacaan. Hal yang menjadi pertanyaan bagi saya, kalau
dengan pengertian yang diberikan sebagaimana tulisannya bahwa calon perantau
mencari informasi sebelumnya, bisa dengan cerita teman yang telah pergi
sebelumnya atau media lainnya berarti bahwa dalam falsafah ini diterjemahkan
orang bugis menggunakan inderanya dalam hal ini bisa berupa mata dan telinga
yang digunakan untuk mengumpulkan informasi. Bukankah ini akan mengurangi makna
spritual dari ungkapan tersebut?
Di Bugis Bone,
ungkapan ini lebih familiar dengan lettu
memeng no dolo nappako lokka. Dalam terjemahan ke bahasa Indonesia memiliki
pengertian yang sama dengan palettui
alemu riolo tejjokamu. yang membedakan keduanya karena adanya sedikit
perbedaan pada beberapa baik kosa kata maupun intonasi bugis Bone dan Wajo.
Kalau diartikan per kata maka dapat diartikan bahwa lettu (sampai) memeng no dolo
(terlebih dahulu), alemu (dirimu),
nappako (sebelum), lokka (berangkat) atau sampailah terlebih
dahulu sebelum berangkat.
Ungkapan ini
juga dikutip oleh salah satu buku pengembangan diri Zona Ikhlas oleh Erbe
Sentanu yang juga penulis Quantum Ikhlas. Menurut Erbe sentanu, ungkapan ini
bermakna bahwa cara orang bugis dalam menggunakan teknik afirmasi yang berarti
bahwa menghadirkan suatu kejadian sebelum terjadi. Kekuatan afirmasi ini
dilakukan tanpa menggunakan indera biologis. Namun demikian menggunakan mata
hati dengan cara membayangkan suatu harapan yang diinginkan.
Pada buku yang
lain, meski tidak mengutip ungkapan bugis ini, namun memliki makna yang sama.
bisa kita baca buku the secret (Amerika) yang sempat booming tahun 2005 an kemudian oleh penulis Indonesia juga
beramai-ramai menulis dengan maksud yang hampir sama. the secret menjelaskan tentang
the law of attraction yang bermakna
bahwa adanya hubungan antara pikiran dengan alam semesta. Olehnya dengan
memikirkan sesuatu yang diinginkan maka semesta ini akan meresponnya.
Begitu pula
dengan buku best seller lainnya the seven
habit dari Amerika juga menggunakan teknik afirmasi ini. Penulis mengatakan
pada salah satu kebiasaan orang sukses yaitu begin from the end. Catatan ini bermakna bahwa mulailah dari akhir,
bagaimana caranya? Menurut penulis bisa dilakukan dengan membayangkan sesuatu
telah selesai sebelum memulainya, sebagai contoh ketika kita ingin membeli
mobil maka bayangkanlah bahwa kita sudah memiliki mobil tersebut dan telah
berada dalam mobil tersebut. Selain itu, ketika ingin membangun rumah maka
lihatlah rumah tersebut telah selesai dan kita telah berada dalam rumah
tersebut.
Begitu pun
dengan berbagai pengalaman pribadi yang sempat menjadi percakapan rumit logika.
Dalam keluarga maupun beberapa orang yang pernah kujumpai menjadikan lokalitas
ini menjadi sebuah “ajian”. Akal sederhana saya hanya bisa mencerna bahwa
ungkapan diatas memiliki makna falsafah yang tinggi. Kearifan lokal yang kita
miliki selayaknya menjadi pembelajaran bagi generasi hari ini hingga kita mampu
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apakah
mungkin kita menyamakan ungkapan bugis ini dengan istilah dari luar (begin from
the end atau the law of attraction)? tabe’ puang J
0 komentar: