Senin, 06 April 2015

Sekolah Itu Hijab

Permasalahan Sekolah
“Saya telah dua hari tidak bersekolah Bang. Sepertinya sekolah ini tidak berguna. Lebih baik saya bekerja saja di sawah/ladang setelah itu mendapatkan uang” demikian kutipan yang merupakan jawaban dari seorang anak berusia 12 tahun tentang ketidaktertarikannya lagi mengikuti proses belajar di sekolah. Kisah nyata yang dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul “sekolah dibubarkan saja!” oleh seorang sosiolog asal Minang, mencoba menggambarkan bagaimana proses pendidikan yang tidak mampu menjawab kebutuhan nyata dari anak didik di sekolah.
Makna kritik yang lain dengan bahasa yang berbeda pada sebuah sinopsis buku yang ditulis oleh Roem “tak kurang dari dua belas tahun waktu yang dibutuhkan untuk bersekolah. Sungguh merupakan rentang waktu yang panjang dan bisa jadi sangat menjemukan. Apalagi kalau hanya sekedar di isi dengan duduk, mencatat, bermain dan yang paling penting mendengarkan guru ketika berceramah di depan kelas. Lalu apa hasil dari duduk-duduk selama belasan tahun itu? Lewat sekolah, seseorang bisa mendapatkan penghormatan tetapi bisa juga mendapatkan cemoohan, atau bahkan mendapatkan kedua-duanya. Ya memang sekolah mampu mencetak seorang anak manusia menjadi pejabat sekaligus penjahat”. Begitulah sinopsis dari buku “Sekolah itu candu” yang mencoba mementahkan segala eksistensi dan pentingnya sekolah bahwa peran sekolah tidak menjadi faktor utama yang menentukan masa depan seseorang.
Pada pertengahan tahun 2014 saat presiden Jokowi yang dipercaya oleh rakyat melalui pemilihan presiden untuk memimpin negeri ini, dengan berani mengangkat pejabat setingkat menteri yang tidak sempat mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi bahkan tidak menyelesaikan pendidikan jenjang menengah atas. Hal ini menjadi momentum pembuktian lagi bahwa sekolah itu tidak menjadi sesuatu yang mendesak untuk dipenuhi dalam usaha menjadi manusia bermanfaat bagi bangsa.
Busro Muqaddas (Bernas Jogja, 22 April 2014) mengungkapkan bahwa bagaimana peranan Perguruan Tinggi (PT) yang tidak hanya minim perannya dalam tata kelola, namun Sumber Daya Manusia (SDM) di PT juga tidak berperan dalam pemberantasan korupsi, termasuk dalam melakukan checks and balance. Seharusnya PT ikut berupaya merekonstruksi birokrasi yang bernafas pembebasan sistem yang korup baik melalui tradisi intelektualisme maupun evaluasi kurikulum (referensi kurikulum dan metode kuliah).
Realitas Pendidikan
Hari ini, pendidikan dapat dipandang mempunyai nilai perspektif konsumsi dan produksi (ekonomi). Perspektif konsumsi mendudukkan pendidikan sebagai yang harus dipenuhi oleh setiap orang, sehingga pendidikan dipandang sebagai sarana untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat pendidikan bahkan menjadi status sosial seseorang dalam lingkungan sosial. Semakin tinggi tingkat pendidikan akademik seseorang, maka akan semakin dihormati dalam kehidupan sosial. Dalam perspektif produksi, pendidikan dianggap sebagai investasi baik individu, kelompok/masyarakat ataupun bangsa. Kepentingan bangsa berkaitan dengan produk pendidikan yang sangat diperlukan bagi kelangsungan dan percepatan pembangunan. Selain itu, individu dan masyarakat/kelompok menjadikan pendidikan juga sebagai lahan investasi. Hal ini bisa kita lihat dari berkembangnya lembaga atau yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. Trend ini menjadikan bidang pendidikan semakin terkomersilkan (industri pendidikan).
Sekolah mulai dibisniskan. Pendidikan bukan lagi upaya mencerdaskan akan tetapi merupakan salah satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Dana pendidikan diselewengkan, kapasitas lulusan yang tidak sesuai dengan pasar, pelatihan dan kursus yang menjamur sebagai persiapan bagi mereka yang akan dan ingin bekerja. Kalau memang sekolah menyiapkan lulusannya untuk menghadapi dunia kerja, mengapa masih marak kursus dan pelatihan yang diadakan sebelum seseorang memasuki dunia kerja? Bukankah ini bukti bahwa sekolah dan sistem pendidikan yang ada tidak membantu mempersiapkan lulusannya sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Bourdieu (2010) menjelaskan pembentukan sosial apapun distruktrukan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural, dll). Kaitan arena dalam hal ini adalah arena pendidikan dimana sekolah menjadi arena investasi pendidikan dimana kepentingan tertentu dipertaruhkan bahkan jika kepentingan-kepentingan tersebut diingkari pelakunya (pengelola), atau pasti ada ‘investasi’ tertentu meski tidak pernah diakui sebagai sebuah investasi. Ini yang disebut oleh Bourdieu sebagai arena prooduksi-terbatas. Hal ini bisa dimaknai bahwa sekolah adalah produsen dimana motif untuk memperoleh laba ekonomi biasanya disangkal dengan sebuah alasan niat pengabdian. Anak didik dijadikan sebagai konsumen dengan hasil akhir adalah kelas-kelas sosial atau fraksi-fraksi kelas (modal ekonomi/akademis).
Sekolah adalah hijab, nyatanya bisa menjelaskan realitas pendidikan hari ini. Hijab adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain. Proses pendidikan pada jenjang sekolah telah berhasil membuat strata sosial baru dalam masyarakat. Bagi mereka dengan gelar tinggi akan diposisikan tinggi pula dalam sosial. Bagi mereka dengan modal besar, bisa mendapatkan modal ekonomi (kultural) tambahan dari investasi pendidikan ini. Sekolah telah berhasil menciptakan “kau” adalah “kau” dan “aku adalah “aku, bangunan sekolah itu telah memisahkan “kau” dan “aku”. Sekolah berhasil menjadi hijab nyata yang memisahkan “kita”.
Solusi
Institusi pendidikan yang hari ini kita sebut sebagai sekolah seharusnya tidak dibatasi dengan berbagai macam “tetak bengek” kebijakan, kakunya kurikulum, sampai pada hal-hal kecil dari mulai memakai seragam, model gaya rambut dan lain sebagainya. Manusia, yang disebut sebagai anak didik yang berada di dalam institusi sekolah itu seharusnya lebih mampu merasakan kebebasan, tidak dikurung dalam kelas, ruang gerak dibatasi, yang akhirnya jiwa kemerdekaannya terenggut oleh kebijakan kaku sekolah yang berujung menjadi anak penakut atau malah anak yang kebablasan (kenakalan remaja). Berilah mereka ruang ekspresi yang luas, bukannya saat anak didik itu mencoba keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh pemilik sekolah, menciptakan terobosan diluar umumnya suatu sekolah, pemerintah main hakim sendiri, tidak mau mengakui dan mengkalim mereka (anak didik) sebagai siswa nakal.
Sekolah adalah taman (1998), dimana tempat untuk menyempatkan waktu luang. Kalau hari ini sekolah dijadikan sebuah investasi pendidikan baik pemerintah maupun swasta maka sekolah haruslah mampu menjawab kebutuhan siswanya. Investasi yang memberi kenyamanan dalam proses belajar demi menunjang masa depan anak didik. Seperti sebuah taman, dimana perasaan aman dan nyaman dirasakan, begitulah semestinya sekolah dihadirkan.
Chatib (2011) menjelaskan bahwa setiap institusi sekolah di dalamnya ada manusia maka proses belajar mengajar akan berhasil apabila dilakukan secara manusiawi. Sekolah seharusnya mampu memotret keragaman gaya belajar siswa sehingga guru mampu masuk ke dalam dunia siswa. Kondisi ini akan menciptakan proses mengajar menjadi seni yang tidak bernilai dimana siswa dan guru akan menikmati proses bersama.
Bangunan sekolah yang telah menjadi investasi pendidikan ini seharusnya hadir dengan konsep manusiawi yakni memberi kenyaman dalam proses belajar dan menjawab kebutuhan siswa. Sekolah hadir dengan tidak menjadi hijab, yakni ruang pemisah antara bangunan dalam sekolah dan realitas yang ada di kehidupan sebenarnya atau menjadi ruang yang memahami bahwa setiap siswa adalah unik dengan kebutuhan yang beragam.


2 komentar:

  1. asslamualaikum.... luar biasa tulisannya kak, saya baru sadar kalo ternyata saya punya kaka yang bisa menjadi guru saya dalam hal pendidikan. i need to discuss with you.

    BalasHapus
  2. hehe ada2 aja bro,, ide dalam beberap tulisan ta jauh lebih baik

    BalasHapus