Sekolah Itu Hijab
Permasalahan
Sekolah
“Saya telah dua hari
tidak bersekolah Bang. Sepertinya sekolah ini tidak berguna. Lebih baik saya
bekerja saja di sawah/ladang setelah itu mendapatkan uang” demikian kutipan
yang merupakan jawaban dari seorang anak berusia 12 tahun tentang
ketidaktertarikannya lagi mengikuti proses belajar di sekolah. Kisah nyata yang
dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul “sekolah dibubarkan saja!” oleh
seorang sosiolog asal Minang, mencoba menggambarkan bagaimana proses pendidikan
yang tidak mampu menjawab kebutuhan nyata dari anak didik di sekolah.
Makna kritik yang lain
dengan bahasa yang berbeda pada sebuah sinopsis buku yang ditulis oleh Roem “tak
kurang dari dua belas tahun waktu yang dibutuhkan untuk bersekolah. Sungguh
merupakan rentang waktu yang panjang dan bisa jadi sangat menjemukan. Apalagi
kalau hanya sekedar di isi dengan duduk, mencatat, bermain dan yang paling
penting mendengarkan guru ketika berceramah di depan kelas. Lalu apa hasil dari
duduk-duduk selama belasan tahun itu? Lewat sekolah, seseorang bisa mendapatkan
penghormatan tetapi bisa juga mendapatkan cemoohan, atau bahkan mendapatkan
kedua-duanya. Ya memang sekolah mampu mencetak seorang anak manusia menjadi
pejabat sekaligus penjahat”. Begitulah sinopsis dari buku “Sekolah itu candu”
yang mencoba mementahkan segala eksistensi dan pentingnya sekolah bahwa peran
sekolah tidak menjadi faktor utama yang menentukan masa depan seseorang.
Pada pertengahan tahun
2014 saat presiden Jokowi yang dipercaya oleh rakyat melalui pemilihan presiden
untuk memimpin negeri ini, dengan berani mengangkat pejabat setingkat menteri
yang tidak sempat mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi bahkan tidak
menyelesaikan pendidikan jenjang menengah atas. Hal ini menjadi momentum
pembuktian lagi bahwa sekolah itu tidak menjadi sesuatu yang mendesak untuk
dipenuhi dalam usaha menjadi manusia bermanfaat bagi bangsa.
Busro
Muqaddas (Bernas Jogja, 22 April 2014) mengungkapkan bahwa bagaimana peranan
Perguruan Tinggi (PT) yang tidak hanya minim perannya dalam tata kelola, namun
Sumber Daya Manusia (SDM) di PT juga tidak berperan dalam pemberantasan
korupsi, termasuk dalam melakukan checks and balance. Seharusnya PT ikut
berupaya merekonstruksi birokrasi yang bernafas pembebasan sistem yang korup
baik melalui tradisi intelektualisme maupun evaluasi kurikulum (referensi
kurikulum dan metode kuliah).
Realitas Pendidikan
Hari
ini, pendidikan dapat dipandang mempunyai nilai perspektif konsumsi dan
produksi (ekonomi). Perspektif konsumsi mendudukkan pendidikan sebagai yang
harus dipenuhi oleh setiap orang, sehingga pendidikan dipandang sebagai sarana
untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat pendidikan bahkan
menjadi status sosial seseorang dalam lingkungan sosial. Semakin tinggi tingkat
pendidikan akademik seseorang, maka akan semakin dihormati dalam kehidupan
sosial. Dalam perspektif produksi, pendidikan dianggap sebagai investasi baik
individu, kelompok/masyarakat ataupun bangsa. Kepentingan bangsa berkaitan
dengan produk pendidikan yang sangat diperlukan bagi kelangsungan dan
percepatan pembangunan. Selain itu, individu dan masyarakat/kelompok menjadikan
pendidikan juga sebagai lahan investasi. Hal ini bisa kita lihat dari
berkembangnya lembaga atau yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. Trend
ini menjadikan bidang pendidikan semakin terkomersilkan (industri pendidikan).
Sekolah
mulai dibisniskan. Pendidikan bukan lagi upaya mencerdaskan akan tetapi
merupakan salah satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Dana
pendidikan diselewengkan, kapasitas lulusan yang tidak sesuai dengan pasar,
pelatihan dan kursus yang menjamur sebagai persiapan bagi mereka yang akan dan
ingin bekerja. Kalau memang sekolah menyiapkan lulusannya untuk menghadapi
dunia kerja, mengapa masih marak kursus dan pelatihan yang diadakan sebelum
seseorang memasuki dunia kerja? Bukankah ini bukti bahwa sekolah dan sistem pendidikan
yang ada tidak membantu mempersiapkan lulusannya sesuai dengan permintaan pasar
kerja.
Bourdieu
(2010) menjelaskan pembentukan sosial apapun distruktrukan melalui serangkaian
arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan,
arena politik, arena kultural, dll). Kaitan arena dalam hal ini adalah arena
pendidikan dimana sekolah menjadi arena investasi pendidikan dimana kepentingan
tertentu dipertaruhkan bahkan jika kepentingan-kepentingan tersebut diingkari
pelakunya (pengelola), atau pasti ada ‘investasi’ tertentu meski tidak pernah
diakui sebagai sebuah investasi. Ini yang disebut oleh Bourdieu sebagai arena
prooduksi-terbatas. Hal ini bisa dimaknai bahwa sekolah adalah produsen dimana
motif untuk memperoleh laba ekonomi biasanya disangkal dengan sebuah alasan
niat pengabdian. Anak didik dijadikan sebagai konsumen dengan hasil akhir
adalah kelas-kelas sosial atau fraksi-fraksi kelas (modal ekonomi/akademis).
Sekolah
adalah hijab, nyatanya bisa menjelaskan realitas pendidikan hari ini. Hijab
adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain. Proses pendidikan pada
jenjang sekolah telah berhasil membuat strata sosial baru dalam masyarakat.
Bagi mereka dengan gelar tinggi akan diposisikan tinggi pula dalam sosial. Bagi
mereka dengan modal besar, bisa mendapatkan modal ekonomi (kultural) tambahan
dari investasi pendidikan ini. Sekolah telah berhasil menciptakan “kau” adalah
“kau” dan “aku adalah “aku, bangunan sekolah itu telah memisahkan “kau” dan
“aku”. Sekolah berhasil menjadi hijab nyata yang memisahkan “kita”.
Solusi
Institusi pendidikan yang hari ini kita sebut sebagai sekolah
seharusnya tidak dibatasi dengan berbagai macam “tetak bengek” kebijakan,
kakunya kurikulum, sampai pada hal-hal kecil dari mulai memakai seragam, model
gaya rambut dan lain sebagainya. Manusia, yang disebut sebagai anak didik yang
berada di dalam institusi sekolah itu seharusnya lebih mampu merasakan kebebasan,
tidak dikurung dalam kelas, ruang gerak dibatasi, yang akhirnya jiwa
kemerdekaannya terenggut oleh kebijakan kaku sekolah yang berujung menjadi anak
penakut atau malah anak yang kebablasan (kenakalan remaja). Berilah mereka
ruang ekspresi yang luas, bukannya saat anak didik itu mencoba keluar dari
jalur yang telah ditentukan oleh pemilik sekolah, menciptakan terobosan diluar
umumnya suatu sekolah, pemerintah main hakim sendiri, tidak mau mengakui dan
mengkalim mereka (anak didik) sebagai siswa nakal.
Sekolah adalah taman (1998), dimana tempat untuk menyempatkan
waktu luang. Kalau hari ini sekolah dijadikan sebuah investasi pendidikan baik pemerintah
maupun swasta maka sekolah haruslah mampu menjawab kebutuhan siswanya.
Investasi yang memberi kenyamanan dalam proses belajar demi menunjang masa
depan anak didik. Seperti sebuah taman, dimana perasaan aman dan nyaman
dirasakan, begitulah semestinya sekolah dihadirkan.
Chatib (2011) menjelaskan bahwa setiap institusi sekolah di
dalamnya ada manusia maka proses belajar mengajar akan berhasil apabila
dilakukan secara manusiawi. Sekolah seharusnya mampu memotret keragaman gaya
belajar siswa sehingga guru mampu masuk ke dalam dunia siswa. Kondisi ini akan
menciptakan proses mengajar menjadi seni yang tidak bernilai dimana siswa dan
guru akan menikmati proses bersama.
Bangunan sekolah yang telah menjadi investasi pendidikan ini
seharusnya hadir dengan konsep manusiawi yakni memberi kenyaman dalam proses
belajar dan menjawab kebutuhan siswa. Sekolah hadir dengan tidak menjadi hijab,
yakni ruang pemisah antara bangunan dalam sekolah dan realitas yang ada di
kehidupan sebenarnya atau menjadi ruang yang memahami bahwa setiap siswa adalah
unik dengan kebutuhan yang beragam.
asslamualaikum.... luar biasa tulisannya kak, saya baru sadar kalo ternyata saya punya kaka yang bisa menjadi guru saya dalam hal pendidikan. i need to discuss with you.
BalasHapushehe ada2 aja bro,, ide dalam beberap tulisan ta jauh lebih baik
BalasHapus