Kamis, 25 Juni 2015

Perjalanan Berilmu Empat Sekawan

Pallawangeng, demikian kata yang merujuk lokasi dimana Ponggawa dan teman-temannya berada saat ini. Saat dimana senja telah berlabuh, matahari telah benar-benar berpulang meninggalkan siang menuju malam, tak ada lampu jalan dan rumah warga, yaa mereka sedang tidak berada di perkampungan warga. Yang ada hanya mereka berempat dengan fisik yang sedang ngos-ngosan. Hanya cita-cita akan berada di tempat dengan suasana yang masih alami yang masih menguatkan kaki mereka melangkah. Air terjun Mittie dan Goa Mampu menjadi impian bersama mereka. Air terjun Mittie yang konon katanya membawa khasiat bagi mereka yang masih jomblo atau menambah rezeki bagi mereka yang kesusahan. Goa Mampu yang dipercaya oleh warga setempat tercipta dari manusia yang menjadi batu karena dosa salah seorang warga yang berbicara dengan seekor anjing. Keduanya berada di satu lokasi yang sama di Kacamatan Uloe, Kabupaten Bone.
Perjalanan nekat oleh empat sekawan masa SMA ini bermula saat pertemuan di malam reuni sekolah. Cerita Goa Mampu pernah mereka dengar saat masih duduk di bangku SMP pada mata pelajaran bahasa daerah. Sejak dulu sebenarnya mereka berkeinginan mendatangi tempat itu tapi belum pernah terwujud sampai mereka menyelesaikan SMA dan meninggalkan kampung mereka, Kabupaten Sidrap. Mereka harus menempuh sekitar 110 KM melewati jalan raya dan terkadang gunung dan sawah sebagai jalan alternative agar lebih dekat. Mereka memang sengaja memilih berjalan kaki. Perjalanan itu melewati kabupaten Sidrap menuju kabupaten Soppeng sebelum sampai kecamatan Uloe, Kabupaten Bone.
“Kita harus berada di sana liburan kali ini” ucap Ponggawa berusaha untuk memprovokasi teman-temannya.
“Saya mau sekali tapi saya harus balik cepat ke Makassar kawan, kan saya sementara koas di rumah sakit, tidak bisa absen sehari saja nanti berpengaruh jelek pada nilai ku” ungkap Jannah, mahasiswa fakultas kedokteran, yang mengemukakan alasannya.
Jannah dikenal siswa cerdas saat duduk di bangku SMA. Juara kelas tidak pernah lepas dari tangannya sejak kelas 1 sampai 3 SMA. Dia pun sempat mewakili kabupaten Sidrap di tingkat provinsi Sulawesi Selatan pada lomba debat bahasa Inggris, tapi sayang tidak mendapatkan juara. Jannah telah menyelesaikan strata satu pada fakultas kedokteran universitas swasta terkemuka di Kota Makassar dan sedang menempuh koas pada stase Ilmu Kesehatan Masyarakat yang merupakan tingkat II dalam menyelesaikan profesi dokternya.
“Agak sulit bagi saya karena kan harus ziarah kuburan dulu” Mario memberi alasan kemungkinan tidak bisa ikut.
Kebiasaan masyarakat Bugis adalah menziarah kuburan keluarga menjelang ramadhan atau setelah ramadhan. Mario baru pulang kampung menjelang idul fitri sehingga memilih untuk pergi ziarah kuburan ibunya setelah salat idul fitri. Sebenarnya dia merencanakan pergi sesaat setelah solat id namun dia juga harus bersilaturahmi ke rumah keluarga.
“Aahh itu soal gampang Jan, kan kita cuman sehari di sana, pergi pagi tiba sore, tapi gimana dengan Rio yaa? “kelihatannya Ade begitu bersemangat.
“Kita pergi abis Mario ziarah kubur gimana” Ponggawa berusaha memberi solusi.
Ketiga temannya mengangguk bertanda setuju. Begitu lah mereka sedang melakukan layaknya tudang sipulung mendiskusikan rencana perjalanan mereka. Keempatnya bertemu di acara reuni SMA yang selalu dilaksanakan oleh pengurus alumni setelah ramadhan atau beberapa hari setelah pelaksanaan solat idul fitri.
Mereka berempat begitu tampak berbeda. Mereka kini sangat jarang bertemu secara langsung dan komunikasi lagi. Sekitar 5 tahun yang lalu terakhir mereka begitu dekat, bersama-sama dalam organisasi Pramuka. Kini, mereka bertemu sekali dalam setahun, itu pun kalau sempat menghadiri acara reuni di sekolah. Kecuali Ponggawa yang tidak melanjutkan kuliah di kota Makassar, dia memilih menikah dan menjadi petani. Baginya mengerjakan sawah adalah pekerjaan leluhur bagi orang Bugis. Masyarakat Bugis begitu menghormati nasi sehingga orang tua selalu memarahi anak mereka bila menyisahkan nasi saat selesai makan. Bagi masyarakat Bugis, padi adalah jelmaan anak dewa yang dituliskan dalam kisah la galigo. Anak pertama yang meninggal dari penghuni pertama kehidupan dunia ini dimana kuburannya tiba-tiba berubah menjadi sawah yang ditumbuhi padi. Sedangkan Jannah sejak kecil memang bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Mantan ketua Pramuka SMA itu akan memilih menjadi penjahit seandainya tidak lulus di fakultas kedokteran melanjutkan profesi dari ibunya.
Sementara Mario yang sekarang ini sedang berusaha menyelesaikan penelitian skripsinya yang telah di program selama 3 semester pada fakultas hukum di universitas negeri di kota makassar, saat ditanya kenapa lama sekali menyelesaikan penelitiannya, Mario punya alasan sendiri. Baginya penelitian adalah karya ilmiah yang harus dikerjakan secara maksimal agar nantinya tidak hanya menjadi pajangan di sudut perpustakaan kampus. Kedengaran idealis tapi tidak rasional karena tepatnya Mario lebih menyibukkan diri dengan kamera. Benar saja perjalanan ini, dia lah yang menjadi “tukang” foto-foto.
Sesal datang diantara keputusasaannya, kenapa harus berada di sini, bukankah Makassar akan lebih nyaman.
“Aduh seandainya saya tidak ikut” ucap Ade memilih mengungkapkan perasaannya.
“Seandainya saya tidak masiri, saya sudah pasti memilih pulang, menunggu angkot menuju kabupaten Sidrap” gumamnya lagi.
Siri lah yang menguatkan Ade masih bisa melangkah. Diam-diam dia masiri pada Jannah yang masih kuat kelihatan masih tegak dengan ransel yang ada di pundaknya. Yaa, alumni S1 jurusan biologi pada universitas negeri di kota Makassar ini merasa malu sebab nafas teman perempuannya itu masih saja joss.
“Tenang saja De, ini uda dekat, sabar sedikit sappo (sapaan teman seumur)” Ponggawa berusaha memberi semangat.
“Dekat dari mana? Ini GPS saja tidak temukan, not found” Ade membalas merasa tidak yakin
“Iya sappo, memang lokasi ini belum di daftar jadi belum ditemukan, nanti kamu yang daftar yaa, hehe” Mario menambahkan sambil tetap memotret dari kamera yang dikalungkan pada lehernya.
“Oke mari kita lanjutkan perjalanan lagi, warga sebelumnya kan bilang uda dekat setelah bukit di depan itu” ungkap Jannah sambil mengambil langkah pertama.
Mereka berjalan lagi, lalu keringat kembali mengering saat berjalan di bawah pohon-pohon lebat di atas bukit. Maghrib telah mengantar mereka mengucap syukur atas pohon yang masih terjaga. Ada gercikan air sungai berbatu yang dilalui manambah syahdunya maghrib saat itu. Ada pohon rambutan, sirsak dan mangga di sana. Kesemuanya sepertinya tidak bertuan, tumbuh karena proses alami. Ketiganya memang bisa tumbuh bila ketersediaan air yang memadai.
“Sappo, coba kita fikirkan keberadaan satu pohon rambutan ini. Tiap-tiap pohon buahnya berlainan menurut jenisnya, ada yang manis dan ada yang tidak manis. Ada yang berkulit merah, ada yang berkulit kuning. Padahal semuanya memperoleh air yang sama dan tumbuh di atas tanah yang sama. Kenapa coba?” Ade memancing teman-temannya untuk berfikir.
“Ahh ada-ada saja kamu De, kamu tidak baca itu, orang ngos-ngosan dilarang berfikir, melainkan melangkah saja, hehe“ Ponggawa menghela sambil mengambil satu buah rambutan.
“Bilang saja kamu malas berfikir Ponggawa, hahaha” Mario mencandai temannya itu, dia tahu temannya itu memang bukan tipe pemikir melainkan pekerja.
“Karena perbedaan jenis terkandung di dalam inti sel biji-biji rambutan itu” Jannah spontan menjawab.
Ade mengangguk membenarkan jawaban temannya itu, dia memang mengakui Jannah sejak di sekolah.
“Andai kamu salah pun saya benarkan, bagiku kamu selalu tepat, tepat berada di hatiku, as always, Jan!” gumam Ade yang diam-diam mencintai Jannah.
“Air ini mengalir kemana coba? Sifat air selalu mengalir ke tempat landai, kemungkinan ini menuju air terjun, berarti kita sudah dekat dong yaa” Jannah mencoba menganalisa.
Sekali lagi, Ade dibuat terpukau
----
Mereka telah tiba di Goa Mampu dan air terjun Mittie. Sebenarnya tidak ada yang nampak istimewa selain cerita masa lalu dari goa dan mitos khasiat dari air terjun tersebut. Air terjun disebut Mittie sebagaimana berarti tetesan yang tidak deras, diyakini tetesan air dewa yang tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. Sementara di dalam goa Mampu terdapat beberapa batu berbentuk menyerupai kepiting, kerbau, kemaluan wanita, serta adanya kuburan yang menambah mistiknya goa tersebut.
Suara jangkrik setia menemani istirahat 4 sekawan dari kabupaten “nenek mallomo” ini. Gemercik air terjun turun seakan seperti paduan suara yang berirama. Malam sungguh tidak dapat mendahului siang, Tuhan menjadikan malam melingkari siang dengan gelapnya. Malam akan terasa panjang bagi mereka dengan rasa letih yang terasa.
“Huk huk” suara batuk Ade memecah kesunyian itu.
“Angin kota ternyata tidak sama dengan angin desa yaa De, hehe“. Ponggawa mencoba mencadai temannya itu.
“Ahh ada-ada aja kamu Awa, tiba-tiba tenggorakan gatal, tidak tau kenapa yaa?” Ucap Ade yang masih batuk.
“Hey, Jan mau kemana kamu?” Ade mencoba menghentikan gerak Jannah yang bangun dari pembaringannya.
“Tenang aja, wait a minute!” Jannah meyakinkan temannya sambil berlalu.
Jannah datang dengan beberapa buah belimbing di tangan.
Ketiga temannya kemudian heran, untuk apa buah itu. Buah belimbing di kabupaten Sidrap dikenal dengan nama ceneneng sedangkan di kabupaten Bone dinamai binang. Masyarakat Bugis biasanya membuat buahnya menjadi sayur. Pohon belimbing ini banyak dijumpai dibagian depan rumah masyarakat bugis sebagai pengganti pagar.
“Nah ini bunga buah belimbing, kamu masak bunganya itu pake air yang mendidih yaa, in shaa Allah batuknya sembuh” Jannah menyodorkan beberapa bunga yang sudah dipisahkan dengan buah belimbing.
Bunga buah belimbing oleh orang Bugis dipercaya bisa menyembuhkan batuk yang diakibatkan gatal pada tenggorokan.
“Ko’kamu tahu sih Jan” Ponggawa kurang yakin sambil mempersiapkan air panas.
“Makanya berilmu” Jannah sedikit judes pada temannya yang kurang yakin itu.
“Ibn Sina telah mengkaji sejumlah besar tumbuh-tumbuhan yang diketahui pada masa itu. Beliau menyebut berbagai tumbuh-tumbuhan herba, tanaman-tanaman berbunga, jamur (fungi), ganggang (algae) dan melakukan penelitian mengenai genera tanam-tanaman berbagai spesies yang berlainan bagi setiap genus. Beliau juga membuat catatan mengenai tumbuhan yang sama dan tidak sama dan membahas tentang tempat kediaman asli (habitat) bagi setiap tumbuh-tumbuhan dan tanah yang sesuai bagi tumbuh-tumbuhan tersebut, apakah bergaram atau tidak bergaram, nah kamu sebenarnya juga bisa seperti itu Awa, tulis manfaat tanaman lokal di kampung kita dan penamaan masyarakat lokal, kamu bisa jadi pengganti Ibn Sina, hahaha” Jannah menjelaskan sambil menantang temannya itu.
“Ibn Sina juga menceritakan warna-warna bunga dan buah-buahan. Apakah keras atau kering, daunnya lebar atau sempit, bergigi atau semuanya bertepi. Beliau juga memberikan nama-nama yang bermacam-macam bagi tiap-tiap tumbuhan dan bentuk setempat. Naah, kamu juga bisa Awa, kan kamu tinggal di kampung jadi kumpul semua tanaman lokal terus namai sesuai penyebutan lokal dan list juga manfaatnya” Ade menambah penjelasan sahabat perempuannya itu sambil meliriknya berharap mendapat perhatiannya.
“Aku yes” Ucap Mario sambil menirukan gaya bintang penyanyi di acara televisi swasta itu.
“Tidak ada penyakit yang diturunkan Allah melainkan juga diturunkan obat baginya” Spontan Ponggawa berbicara menirukan apa yang pernah didengar di masjid dekat rumahnya saat Ramadhan lalu.
Ponggawa sebenarnya dikenal siswa yang cerdas sewaktu SMA tapi sayang kondisi ekonomi orang tuanya yang kurang mampu membiayainya sampai ke perguruan tinggi sehingga dia memilih melanjutkan profesi bapaknya sebagai petani.
“Hahaha kamu boleh juga jadi ustad sappo” Mario ketawa lepas sambil menggaruk belakangnya.
“Ketawa sih bole tapi saya liat kamu itu dari tadi menggaruk aja kerjanya, gatal kenapa? Untuk apa itu kamera dianggurin” Ponggawa menegur temannya itu sambil tetap memperhatikan bunga ceneneng yang masih direbusnya.
Giliran Ade beraksi. Ade mengambil serai yang berada beberapa meter dari mereka, segera dia kucek daunnya dan dibiarkan disimpan disekitar tempat tidur mereka.
“Semua bagian dari tanaman ini bisa mengusir nyamuk karena aroma zat aktif geraniol” Ade menjelaskan singkat manfaaat tanaman serai yang bisa mengusir nyamuk.
“Ada cara yang lain De” ucap Jannah sambil mengambil daun serai dan menyiapkan air di dalam gelas, mengucek daunnya dan menyimpan dalam gelas yang berisi air tersebut”
“Ahh sama saja, itu karena daunnya yang mengeluarkan aroma yang bisa mengusir nyamuk” sahut Ade yang merasa ditantang oleh pujaan hatinya itu.
“Takkan kubiarkan nyamuk menyentuhmu Jan, Aku rela mengorbankan bahkan andai serai ini tidak berguna, aku akan begadang semalam menjaga, aahh malam ini akan bercemburu pada nyamuk” Gumam Ade yang tambah kagum pada Jannah.

Malam semakin larut. Berlalu dengan canda tawa empat sekawan ini. Berbagi cerita masa lalu yang tidak saja berakhir. Di depan mereka nyata air terjun, yang dikelilingi tumbuh-tummbuhan dan goa yang penuh cerita mistik. “.... dan kamu lihat bumi kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi dan suburlah isinya menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan” Ponggawa menerawang langit berhiaskan bintang merasa bersyukur masih bisa menikmati malam seperti ini bersama sahabat karibnya yang terakhir dirasakan saat masih aktif sebagai pengurus Pramuka di sekolah.

Sidrap, Juni 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati danNulisbuku.com

0 komentar: