Belajar kepada siapa dan dimana saja
Beberapa
hari sebelumnya di akhir bulan April saat berada di terminal Daya, Makassar,
pengalaman bermakna menjadi bagian dari hari itu dan akan tetap menghiasi
pikiran ini. Hari itu memang saya jadwalkan untuk ke daerah namun entah mengapa
saya lebih memilih masuk ke terminal tersebut ketimbang menunggu mobil di
pinggir jalan raya seperti biasanya. Teman-teman pasti tau bagaimana jalan
sepanjang pasar daya sampai perbatasan Makassar – Maros yang dari dulu hingga
sekarang masih menjadi terminal bayangan bagi mereka yang hendak menuju
daerah utara Makassar. Sang sopir lebih
senang menuggu calon penumpang di luar terminal. Entah kenapa, biarkanlah
menjadi rahasia pak Polis yang seakan menjaga suasana ini. Sekali jurus, pak
sopir aman dan pak polis tersenyum melambai tangan seraya mengatakan salama’
ki. Bukan hanya sopir yang rutenya jarak jauh dari Makassar namun juga hal yang
sama bisa kita lihat sopir pete-pete yang akan menuju kabupaten Maros dan
pangkep yang mengambil stand parkir di sekitar bang jo (red:
lampu merah) pasar daya. Hal ini membuat kawasan ini tiada hari tanpa sesat
kendaraan yang parkir dan lalu lalang. Mestinya mereka berada di dalam terminal
menunggu calon penumpang. Tapi, achh sekali lagi ada pos pak polis situ
membiarkannya.
Calon
penumpang lebih merasa nyaman menunggu di luar terminal dari pada harus
menunggu di dalam terminal daya. Entah apa yang menjadi alasan ini, menemukan
jawabannya mungkin pula akan menemukan jawaban yang paling pertama itu “telur
atau ayam”. Mungkin saja karena alasan calon penumpang yang enggan ke terminal sehingga
sopirnya tidak ke terminal lagi atau bisa saja karena memang sang sopir tidak
ada di terminal akhirnya calon penumpang memilih tidak berada di terminal.
Hukum pasar yang berlaku.
Tapi,
achh sudah lah bukan ini yang saya maksud “bermakna” di awal tadi. Dari pada
bingung mari kita mulai cerita itu.
Siang
itu, bersengaja ku tiba di terminal daya saat duhur tiba. Setelah membayar
retribusi pajak masuk terminal sebesar Rp. 500,- murah boy, sungguh murah, uang
saya lembaran Rp. 2.000,- artinya ada sisanya Rp. 1.500,- masih cukup lah untuk
celengan di masjid terminal, sedekah tapi pelit ya (hahaha). Lekas ku
menuju masjid terminal melaksanakan solat duhur. Untuk pertama kalinya saya
solat di masjid ini tapi saya melihat persamaan dengan masjid lainnya, yaitu
sama-sama cuman satu baris jamaah. Syukur masih ada yang menyempatkan waktunya bercumbu
dengan Nya saat gerimis menyapa terminal ini.
Nikmat
terasa setelah melaksanakannya, ku memilih menuju tempat dimana beberapa penumpang duduk bahkan
ada yang tiduran, kursinya memang yang agak panjang memungkinkan penumpang
selain duduk dan baring juga meyimpan barang bawaannya, hal ini didukung karena
penumpang yang minim jumlahnya. Jadilah tempat itu terasa milik sendiri.
Terminal
ini memang kelihatan sunyi bin senyap. Tiada suara sopir memanggil penumpang,
tiada suara calon penumpang mengatakan “tidak” sebagai pertanda bahwa dia
menolak. Yaa tidak seperti saat menjelang hari idul fitri, terminal ini begitu
ramai. Sesak, mungkin iya tapi di situlah nikmatnya menjadi sopir penumpang.
Sayang, hari besar seperti itu hanya berlangsung sekali setahun semata.
Masih
duduk, tak bersengaja aku melihat sejenis pengumuman list tarif
pengangkutan terpajang di sebelah kiri. Aku pun mendekat untuk melihat lebih
jelas apa yang tertulis. Tidak salah lagi ini adalah tarif atau sewa mobil dari
Makassar ke tujuan daerah masing-masing. Waahhh, berbeda, jauh berbeda sekali
tarif yang selama ini saya bayar dengan yang tertulis. Kemudian, aku memastikan
keabsahan ini, ku lihat sebelah kanan bawah, nampak jelas big bos provinsi ini yang bertanda tangan. Tarif ini
sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Wahh aku merasa di rugikan sebagai
konsumen karena ternyata sudah ada standar pembayaran dari pemerintah. Tapi,
tiba-tiba ku berfikir apakah peraturan ini sesuai dengan kebutuhan sang sopir
dan pemilik jasa pengangkutan. Mobil yang dipakai mungkin saja masih angsuran,
sekali rute perjalanan belum tentu mobil penuh. Hitungannya pasti pada saat
penumpang banyak, achh sepertinya peraturan ini nngacoh dehh.
Tapi,
acchh bukan ini yang saya maksud “menghiasi pikiran” di awal tadi. Dari pada
bingung mari kita memulai J
Saya
beranjak ke arah tempat parkir mobil arah daerah yang hendak saya tuju. Di
terminal daya, telah dibagi tempat parkir masing-masing rute perjalanan,
sehingga memudahkan bagi calon penumpang untuk mencari mobil sesuai dengan
tujuan. Saya mulai bertanya pada salah satu penjual untuk meyakinkan bahwa saya
berada pada lokasi yang tepat. Bagi ku cukup mengherankan, saya tidak melihat
satu mobil pun yang parkir di sini. Dalam hati bertanya “pada kemana mereka”
“apakah menjadi sopir sudah tidak menjajikan lagi untuk membiayai biaya sekolah
anak mereka” atau “mungkin saja mereka pada ngungsi ke kampung sebelah,
berganti profesi sebagai pekerja tambang yang sakarang cukup ramai dibicarakan
di kampung halamanku” “achhh rugi bagi ku ke terminal kalo gini, tadi mestinya
nunggu di luar sana saja, pasti akan lebih mudah”. “sediki’ ma mi itu masuk
sini de’, tapi tunggu ma mi ki, mungkin mace’ ki di jalan ka hujan ki ini e”
ucap penjual tersebut. “sediki’ ma mi” berarti masih ada, masih ada kesempatan.
Ku
pilih untuk menunggu saja sambil berjalan di beberapa area terminal. Tanpa
undangan tanpa putusan (hehe), seorang penjual dengan bakul berisi salak
menghampiri ku. Saya yakin dia hendak merayu saya. Betul sekali, dia pun mulai
beraksi (untung dia laki, hehe), tubuhnya kekar wajahnya begitu kuat memancarkan
rasa semangat yang tinggi dan juang yang menggebu-gebu. Dia nampak masih muda
tapi masih lebih muda diriku ;). Bercelana jeans warna hitam dengan baju kaos
pun berwarna hitam, untung kulitnya agak sedikit kecoklotan tidak hitam.
Bersandal jepit “jepang” yang sudah tidak tebal lagi, saya menerka sandalnya
sudah lama dan telah menginjak banyak tempat. Bahkan merknya sudah tidak jelas
lagi, yaa “Swallow” terkesan terlihat “slow” saja. Warnanya yang biru telah
pudar, nampak tak jelas lagi. Kalau barang sekon maka tak bisa di rupiahkan
lagi. Rambutnya belah dua, berwarna kecokelatan kaya’ telah di pernis, mungkin
sudah di olesi dengan pewarna buatan kreatif anak jalanan. Gaya rambutnya tepat
seperti idola cewe-cewe di kampung ku dulu. Sepertinya saya memang seumuran
dia. Begitulah perawakan dari sosok man of the man hari itu ;)
Saya
bisa menerka dengan terminal yang sepi ini, kemungkinannya dagangannya juga
sepi. Pun, saya merasa bahwa salak yang ditawarkan ini sudah lama tak laku-laku
(seperti bang toyib). Sebelum dia menawarkan, saya sudah putuskan tidak akan
membelinya, maaf bung (dalam hatiku).
Dia
menghampir, begitu ramah, saya heran tidak menyangka dia berusaha menjalin
komunikasi di awal dengan menanyakan tujuan saya, dalam hati ku bertanya langsung
saja tawarkan salaknya. Dia mulai bercanda sesaat dan menjelaskan kondisi
terminal. Sepertinya pemuda ini telah mendapatkan training pemasaran J. Barulah kemudian
mengeluarkan aksi selanjutnya “tabe bos, sambil nunggu mobil, coba ki salak
nya” coba ? apa coba ? ujung nya pasti suruh beli. Saya mengelak, dia
menggoda dengan tawaran murah menurutnya. “nda ji bos” saya memang merasa tidak
membutuhkan, selain memang saya harus sadari isi dompetku yang agak minus,
hanya cukup untuk sewa mobil dan makan di warung saat singgah istirahat nanti. Namun
dia tetap merayu “sambil kita makan nanti di mobil bos, jauh tu perjalanan ta
nanti”. Mulai saya merasa terganggu dengan keberadaannya. Tetap saya katakan
tidak, ku mencoba tersenyum sambil mengatakan penolakan “tidak ji bos”. Namun
kelihatannya dia malah tambah bersemangat, penjual ini malah mengelupas kulit
salah satu salaknya untuk di coba “coba mi ki dlu, manis ji”. Kali ini saya
berkata tidak dan menggunakan bahasa isyarat dengan tanganku (layaknya salah
satu bintang iklan anti korupsi yang rame 4 tahun yang lalu oleh salah satu
parpol negeri ini ;)) “iye’ tidak ji, maaf bos di’” ku berusaha berlaku sopan
menolaknya. Usahanya tidak berhenti, makin aku kesal dibuatnya. “ole-ole bos
untuk keluarga ta” ucapnya berusaha meyakinkan saya untuk segera membelinya.
“saya kasi ki murah” godanya lagi. Kali ini dia tidak hanya melibatkan diriku
melainkan keluarga, saya harus katakan dia cakap marketing. Entah jurus
apa lagi ini saya akan keluarkan, saya merasa iba, saya merasa salut dengan
semangatnya menjual dagangannya. Pikir ku beranjak pada dua tahun lalu ketika
pun saya pernah dari toko ke toko, gardu ke gardu, pasar ke pasar menjajakan
produksi UKM rintisan keluarga kami. Entah kesimpulannya dari mana, saya
kemudian memberi uang Rp. 10.000,- pada pemuda yang semangat ini. Saya merasa
nilai ini penting baginya, dia lebih butuh. Mungkin saja dia memiliki adik atau
bahkan sudah beristri atau bisa saja orang tuanya yang sedang membutuhkan uang
sehingga dia begitu bersemangat. Tentu, ku sadar nilai Rp. 10.000 tidaklah
banyak tapi berharap bisa menjadi penambah penambal beban baginya.
Ternyata,
saya merasa menyesal dan malu sendiri. Kesimpulan yang saya bangun di awal
tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Penjual dengan bakul ini menolak
dengan sopan “maaf bos, saya bukan pengemis, trima kasih”. Dia membalikkan
badan dan melangkah menjauh dariku sambil tersenyum. Ku diam menundukkan kepala
dengan senyum kecut yang pernah ku miliki sambil memegani kepala dengan tangan
kananku J
Semoga
kita semua mampu mengambil manfaat dari cerita nyata ini. Belajar itu kepada
siapa dan dimana saja.
0 komentar: