Jumat, 17 Mei 2013

Belajar kepada siapa dan dimana saja



Beberapa hari sebelumnya di akhir bulan April saat berada di terminal Daya, Makassar, pengalaman bermakna menjadi bagian dari hari itu dan akan tetap menghiasi pikiran ini. Hari itu memang saya jadwalkan untuk ke daerah namun entah mengapa saya lebih memilih masuk ke terminal tersebut ketimbang menunggu mobil di pinggir jalan raya seperti biasanya. Teman-teman pasti tau bagaimana jalan sepanjang pasar daya sampai perbatasan Makassar – Maros yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi terminal bayangan bagi mereka yang hendak menuju daerah  utara Makassar. Sang sopir lebih senang menuggu calon penumpang di luar terminal. Entah kenapa, biarkanlah menjadi rahasia pak Polis yang seakan menjaga suasana ini. Sekali jurus, pak sopir aman dan pak polis tersenyum melambai tangan seraya mengatakan salama’ ki. Bukan hanya sopir yang rutenya jarak jauh dari Makassar namun juga hal yang sama bisa kita lihat sopir pete-pete yang akan menuju kabupaten Maros dan pangkep yang mengambil stand parkir di sekitar bang jo (red: lampu merah) pasar daya. Hal ini membuat kawasan ini tiada hari tanpa sesat kendaraan yang parkir dan lalu lalang. Mestinya mereka berada di dalam terminal menunggu calon penumpang. Tapi, achh sekali lagi ada pos pak polis situ membiarkannya.
Calon penumpang lebih merasa nyaman menunggu di luar terminal dari pada harus menunggu di dalam terminal daya. Entah apa yang menjadi alasan ini, menemukan jawabannya mungkin pula akan menemukan jawaban yang paling pertama itu “telur atau ayam”. Mungkin saja karena alasan calon penumpang yang enggan ke terminal sehingga sopirnya tidak ke terminal lagi atau bisa saja karena memang sang sopir tidak ada di terminal akhirnya calon penumpang memilih tidak berada di terminal. Hukum pasar yang berlaku.
Tapi, achh sudah lah bukan ini yang saya maksud “bermakna” di awal tadi. Dari pada bingung mari kita mulai cerita itu.
Siang itu, bersengaja ku tiba di terminal daya saat duhur tiba. Setelah membayar retribusi pajak masuk terminal sebesar Rp. 500,- murah boy, sungguh murah, uang saya lembaran Rp. 2.000,- artinya ada sisanya Rp. 1.500,- masih cukup lah untuk celengan di masjid terminal, sedekah tapi pelit ya (hahaha). Lekas ku menuju masjid terminal melaksanakan solat duhur. Untuk pertama kalinya saya solat di masjid ini tapi saya melihat persamaan dengan masjid lainnya, yaitu sama-sama cuman satu baris jamaah. Syukur masih ada yang menyempatkan waktunya bercumbu dengan Nya saat gerimis menyapa terminal ini.
Nikmat terasa setelah melaksanakannya, ku memilih menuju  tempat dimana beberapa penumpang duduk bahkan ada yang tiduran, kursinya memang yang agak panjang memungkinkan penumpang selain duduk dan baring juga meyimpan barang bawaannya, hal ini didukung karena penumpang yang minim jumlahnya. Jadilah tempat itu terasa milik sendiri.
Terminal ini memang kelihatan sunyi bin senyap. Tiada suara sopir memanggil penumpang, tiada suara calon penumpang mengatakan “tidak” sebagai pertanda bahwa dia menolak. Yaa tidak seperti saat menjelang hari idul fitri, terminal ini begitu ramai. Sesak, mungkin iya tapi di situlah nikmatnya menjadi sopir penumpang. Sayang, hari besar seperti itu hanya berlangsung sekali setahun semata.
Masih duduk, tak bersengaja aku melihat sejenis pengumuman list tarif pengangkutan terpajang di sebelah kiri. Aku pun mendekat untuk melihat lebih jelas apa yang tertulis. Tidak salah lagi ini adalah tarif atau sewa mobil dari Makassar ke tujuan daerah masing-masing. Waahhh, berbeda, jauh berbeda sekali tarif yang selama ini saya bayar dengan yang tertulis. Kemudian, aku memastikan keabsahan ini, ku lihat sebelah kanan bawah, nampak jelas big bos  provinsi ini yang bertanda tangan. Tarif ini sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Wahh aku merasa di rugikan sebagai konsumen karena ternyata sudah ada standar pembayaran dari pemerintah. Tapi, tiba-tiba ku berfikir apakah peraturan ini sesuai dengan kebutuhan sang sopir dan pemilik jasa pengangkutan. Mobil yang dipakai mungkin saja masih angsuran, sekali rute perjalanan belum tentu mobil penuh. Hitungannya pasti pada saat penumpang banyak, achh sepertinya peraturan ini nngacoh dehh.
Tapi, acchh bukan ini yang saya maksud “menghiasi pikiran” di awal tadi. Dari pada bingung mari kita memulai J
Saya beranjak ke arah tempat parkir mobil arah daerah yang hendak saya tuju. Di terminal daya, telah dibagi tempat parkir masing-masing rute perjalanan, sehingga memudahkan bagi calon penumpang untuk mencari mobil sesuai dengan tujuan. Saya mulai bertanya pada salah satu penjual untuk meyakinkan bahwa saya berada pada lokasi yang tepat. Bagi ku cukup mengherankan, saya tidak melihat satu mobil pun yang parkir di sini. Dalam hati bertanya “pada kemana mereka” “apakah menjadi sopir sudah tidak menjajikan lagi untuk membiayai biaya sekolah anak mereka” atau “mungkin saja mereka pada ngungsi ke kampung sebelah, berganti profesi sebagai pekerja tambang yang sakarang cukup ramai dibicarakan di kampung halamanku” “achhh rugi bagi ku ke terminal kalo gini, tadi mestinya nunggu di luar sana saja, pasti akan lebih mudah”. “sediki’ ma mi itu masuk sini de’, tapi tunggu ma mi ki, mungkin mace’ ki di jalan ka hujan ki ini e” ucap penjual tersebut. “sediki’ ma mi” berarti masih ada, masih ada kesempatan.
Ku pilih untuk menunggu saja sambil berjalan di beberapa area terminal. Tanpa undangan tanpa putusan (hehe), seorang penjual dengan bakul berisi salak menghampiri ku. Saya yakin dia hendak merayu saya. Betul sekali, dia pun mulai beraksi (untung dia laki, hehe), tubuhnya kekar wajahnya begitu kuat memancarkan rasa semangat yang tinggi dan juang yang menggebu-gebu. Dia nampak masih muda tapi masih lebih muda diriku ;). Bercelana jeans warna hitam dengan baju kaos pun berwarna hitam, untung kulitnya agak sedikit kecoklotan tidak hitam. Bersandal jepit “jepang” yang sudah tidak tebal lagi, saya menerka sandalnya sudah lama dan telah menginjak banyak tempat. Bahkan merknya sudah tidak jelas lagi, yaa “Swallow” terkesan terlihat “slow” saja. Warnanya yang biru telah pudar, nampak tak jelas lagi. Kalau barang sekon maka tak bisa di rupiahkan lagi. Rambutnya belah dua, berwarna kecokelatan kaya’ telah di pernis, mungkin sudah di olesi dengan pewarna buatan kreatif anak jalanan. Gaya rambutnya tepat seperti idola cewe-cewe di kampung ku dulu. Sepertinya saya memang seumuran dia. Begitulah perawakan dari sosok man of the man hari itu ;)
Saya bisa menerka dengan terminal yang sepi ini, kemungkinannya dagangannya juga sepi. Pun, saya merasa bahwa salak yang ditawarkan ini sudah lama tak laku-laku (seperti bang toyib). Sebelum dia menawarkan, saya sudah putuskan tidak akan membelinya, maaf bung (dalam hatiku).
Dia menghampir, begitu ramah, saya heran tidak menyangka dia berusaha menjalin komunikasi di awal dengan menanyakan tujuan saya, dalam hati ku bertanya langsung saja tawarkan salaknya. Dia mulai bercanda sesaat dan menjelaskan kondisi terminal. Sepertinya pemuda ini telah mendapatkan training pemasaran J. Barulah kemudian mengeluarkan aksi selanjutnya “tabe bos, sambil nunggu mobil, coba ki salak nya” coba ? apa coba ? ujung nya pasti suruh beli. Saya mengelak, dia menggoda dengan tawaran murah menurutnya. “nda ji bos” saya memang merasa tidak membutuhkan, selain memang saya harus sadari isi dompetku yang agak minus, hanya cukup untuk sewa mobil dan makan di warung saat singgah istirahat nanti. Namun dia tetap merayu “sambil kita makan nanti di mobil bos, jauh tu perjalanan ta nanti”. Mulai saya merasa terganggu dengan keberadaannya. Tetap saya katakan tidak, ku mencoba tersenyum sambil mengatakan penolakan “tidak ji bos”. Namun kelihatannya dia malah tambah bersemangat, penjual ini malah mengelupas kulit salah satu salaknya untuk di coba “coba mi ki dlu, manis ji”. Kali ini saya berkata tidak dan menggunakan bahasa isyarat dengan tanganku (layaknya salah satu bintang iklan anti korupsi yang rame 4 tahun yang lalu oleh salah satu parpol negeri ini ;)) “iye’ tidak ji, maaf bos di’” ku berusaha berlaku sopan menolaknya. Usahanya tidak berhenti, makin aku kesal dibuatnya. “ole-ole bos untuk keluarga ta” ucapnya berusaha meyakinkan saya untuk segera membelinya. “saya kasi ki murah” godanya lagi. Kali ini dia tidak hanya melibatkan diriku melainkan keluarga, saya harus katakan dia cakap marketing. Entah jurus apa lagi ini saya akan keluarkan, saya merasa iba, saya merasa salut dengan semangatnya menjual dagangannya. Pikir ku beranjak pada dua tahun lalu ketika pun saya pernah dari toko ke toko, gardu ke gardu, pasar ke pasar menjajakan produksi UKM rintisan keluarga kami. Entah kesimpulannya dari mana, saya kemudian memberi uang Rp. 10.000,- pada pemuda yang semangat ini. Saya merasa nilai ini penting baginya, dia lebih butuh. Mungkin saja dia memiliki adik atau bahkan sudah beristri atau bisa saja orang tuanya yang sedang membutuhkan uang sehingga dia begitu bersemangat. Tentu, ku sadar nilai Rp. 10.000 tidaklah banyak tapi berharap bisa menjadi penambah penambal beban baginya.
Ternyata, saya merasa menyesal dan malu sendiri. Kesimpulan yang saya bangun di awal tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Penjual dengan bakul ini menolak dengan sopan “maaf bos, saya bukan pengemis, trima kasih”. Dia membalikkan badan dan melangkah menjauh dariku sambil tersenyum. Ku diam menundukkan kepala dengan senyum kecut yang pernah ku miliki sambil memegani kepala dengan tangan kananku J
Semoga kita semua mampu mengambil manfaat dari cerita nyata ini. Belajar itu kepada siapa dan dimana saja.

0 komentar: