Catatan Kecil Untuk Sekolah Ku
“Tak kurang dari dua belas tahun waktu yang dibutuhkan untuk
bersekolah. Sungguh merupakan rentang waktu yang panjang dan bisa jadi
sangat menjemukan. Apalagi kalau hanya sekedar di isi dengan duduk,
mencatat, bermain dan yang paling penting mendengarkan guru ketika
berceramah di depan kelas. Lalu apa hasil dari duduk-duduk selama
belasan tahun itu? Lewat sekolah, seseorang bisa mendapatkan
penghormatan tetapi bisa juga mendapatkan cemoohan, atau bahkan
mendapatkan kedua-duanya. Ya memang sekolah mampu mencetak seorang anak
manusia menjadi pejabat sekaligus penjahat”
Begitulah sinopsis dari buku Sekolah Itu Candu. Buku karangan Roem Topatimasang yang kontroversial di saat pemerintah baru gencar-gencarnya program wajib belajar 9 tahun, wajib bersekolah. Buku ini mementahkan segala eksistensi dan pentingnya sekolah bahwa peran sekolah tidak menjadi factor utama yang menentukan masa depan seseorang.
Berawal dari kisah Sukardal di tahun 2222 yang menemukan naskah terlarang tentang sekolah. Pembaca diajak mengenal sekolah dari masa awalnya hingga praktik yang berlangsung saat ini. sekolah yang berasal dari schola (latin) yang berarti waktu luang, orang tua yang menitipkan anak mereka untukmengisi waktu luang yang semakin lama berkembang dengan klasifikasi berdasarkan tingkatan dan materi sehingga akhirnya membentuk sistem kurikulum. yang awalnya tidak ada hal-hal baku, sekarang semuanya serba dibuat baku. Tak hanya sekolah yang menyeragamkan, sekolah juga mulai dibisniskan. pendidikan bukan lagi upaya mencerdaskan tapi merupakan salah satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Dana pendidikan yang diselewengkan, kapasitas lulusan yang tidak sesuai dengan pasar, pelatihan dan kursus yang menjamur sebagai persiapan bagi mereka yang akan dan ingin bekerja. Kalau memang sekolah menyiapan lulusannya untuk menghadapi dunia kerja, mengapa masih marak kursus dan pelatihan yang diadakan sebelum seseorang memasuki dunia kerja? bukankah ini bukti bahwa sekolah dan sistem pendidikan yang ada tidak membantu mempersiapkan lulusannya sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Sekolah diibaratkan sebuah candu yang bisa membius dan melenakan seseorang, cuma dijadikan sebagai tempat singgah, mengisi waktu luang, bersuka cita mumpung masih muda. Kemudian setelah lulus, terengah-engah untuk mencari kerja, sedikit sentimental, dan ketika sudah bekerja bangga dengan pekerjaannya sebagai pegawai. Yang lebih parah lagi ada yang waktu hidupnya hanya untuk bersekolah tiada henti, setelah lulus di Indonesia, ke Australia, ke Jepang sampai lupa waktu untuk mengimplementasikan dan berbagi ilmunya.
Begitulah sekolah di Indonesia yang selalu dibatasi dengan berbagai macam “tetek bengek” kebijakan, aturan, formalitas, kakunya kurikulum,sampai pada hal-hal kecil dari mulai memakai seragam, model gaya rambut dan lain sebagainya. Selama puluhan tahun siswa dikurung dalam kelas, ruang gerak dibatasi, akhirnya jiwanya kemerdekaannya terenggut oleh kebijakan kaku sekolah dan akhirnya menjadi anak yang penakut. Lantas ketika ada anak negeri coba keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh pemerintah, menciptakan terobosan diluar umumnya suatu sekolah, pemerintah main hakim sendiri, tidak mau mengakui dan lain sebagainya.
Jika saat ini kita ditanya, apakah yang ada dalam benak kita jika mendengar istilah sekolah, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pencabulan, tawuran, atau bentrokan? Tepat, semua itu bercampur baur dalam satu istitusi bernama sekolah. Stigma sosial bahwa istitusi dan hasil produknya juga belum menunjukkan pergerakan yang positif. Beberapa istilah tersebut seolah saling terkait antara satu dengan lainnya. Meski statistiknya tidak banyak, namun karena pemberitaan mediayang gencar, akhirnya stigma itu melekat hingga sekarang.
Sangat naif seandainya kita hanya mengumpat dan mencerca para pendidik, pihak sekolah,atau pun pembuat kebijakan. Banyak solusi yang sebenarnya bisa menjadi referensi bagi mereka guna mengoptimalkan dana rakyat sebesar Rp 209,54 trilun atau setara 20 % dari anggaran APBN 2010.
Begitulah sinopsis dari buku Sekolah Itu Candu. Buku karangan Roem Topatimasang yang kontroversial di saat pemerintah baru gencar-gencarnya program wajib belajar 9 tahun, wajib bersekolah. Buku ini mementahkan segala eksistensi dan pentingnya sekolah bahwa peran sekolah tidak menjadi factor utama yang menentukan masa depan seseorang.
Berawal dari kisah Sukardal di tahun 2222 yang menemukan naskah terlarang tentang sekolah. Pembaca diajak mengenal sekolah dari masa awalnya hingga praktik yang berlangsung saat ini. sekolah yang berasal dari schola (latin) yang berarti waktu luang, orang tua yang menitipkan anak mereka untukmengisi waktu luang yang semakin lama berkembang dengan klasifikasi berdasarkan tingkatan dan materi sehingga akhirnya membentuk sistem kurikulum. yang awalnya tidak ada hal-hal baku, sekarang semuanya serba dibuat baku. Tak hanya sekolah yang menyeragamkan, sekolah juga mulai dibisniskan. pendidikan bukan lagi upaya mencerdaskan tapi merupakan salah satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Dana pendidikan yang diselewengkan, kapasitas lulusan yang tidak sesuai dengan pasar, pelatihan dan kursus yang menjamur sebagai persiapan bagi mereka yang akan dan ingin bekerja. Kalau memang sekolah menyiapan lulusannya untuk menghadapi dunia kerja, mengapa masih marak kursus dan pelatihan yang diadakan sebelum seseorang memasuki dunia kerja? bukankah ini bukti bahwa sekolah dan sistem pendidikan yang ada tidak membantu mempersiapkan lulusannya sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Sekolah diibaratkan sebuah candu yang bisa membius dan melenakan seseorang, cuma dijadikan sebagai tempat singgah, mengisi waktu luang, bersuka cita mumpung masih muda. Kemudian setelah lulus, terengah-engah untuk mencari kerja, sedikit sentimental, dan ketika sudah bekerja bangga dengan pekerjaannya sebagai pegawai. Yang lebih parah lagi ada yang waktu hidupnya hanya untuk bersekolah tiada henti, setelah lulus di Indonesia, ke Australia, ke Jepang sampai lupa waktu untuk mengimplementasikan dan berbagi ilmunya.
Begitulah sekolah di Indonesia yang selalu dibatasi dengan berbagai macam “tetek bengek” kebijakan, aturan, formalitas, kakunya kurikulum,sampai pada hal-hal kecil dari mulai memakai seragam, model gaya rambut dan lain sebagainya. Selama puluhan tahun siswa dikurung dalam kelas, ruang gerak dibatasi, akhirnya jiwanya kemerdekaannya terenggut oleh kebijakan kaku sekolah dan akhirnya menjadi anak yang penakut. Lantas ketika ada anak negeri coba keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh pemerintah, menciptakan terobosan diluar umumnya suatu sekolah, pemerintah main hakim sendiri, tidak mau mengakui dan lain sebagainya.
Jika saat ini kita ditanya, apakah yang ada dalam benak kita jika mendengar istilah sekolah, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pencabulan, tawuran, atau bentrokan? Tepat, semua itu bercampur baur dalam satu istitusi bernama sekolah. Stigma sosial bahwa istitusi dan hasil produknya juga belum menunjukkan pergerakan yang positif. Beberapa istilah tersebut seolah saling terkait antara satu dengan lainnya. Meski statistiknya tidak banyak, namun karena pemberitaan mediayang gencar, akhirnya stigma itu melekat hingga sekarang.
Sangat naif seandainya kita hanya mengumpat dan mencerca para pendidik, pihak sekolah,atau pun pembuat kebijakan. Banyak solusi yang sebenarnya bisa menjadi referensi bagi mereka guna mengoptimalkan dana rakyat sebesar Rp 209,54 trilun atau setara 20 % dari anggaran APBN 2010.
0 komentar: