Demokrasi itu Bugis
Setiap suku bangsa di dunia ini
memiliki ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan
jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya mencari cara sedemikian
rupa demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka
berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai
pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya. Dengan
tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang
diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di
luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki
prinsip sebgai pegangan maka segala yang kita lakukan tidak akan
kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat
motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang.
Demikian pula suku bangsa yang ada
di Sulawesi selatan (Bugis dan Makassar) sejak dahulu kala setiap suku telah
memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga
keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah
prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma
adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam menjalankan segala
aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.
Selain membahas tentang etika
kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis seperti Sure Galigo,
Lontara, Paseng to Riolo dan Elong, juga memuat tentang karakter
kepemimpinan politik manusia Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah petuah
berharga tanah Bugis berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang
berarti bahwa ”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu”. Prinsip ini
dapat ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone La Patau
Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710 dengan
hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke Buton) karena
membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Maroa Wajo X La Pakoko Topabbele’
menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena memperkosa seorang perempuan
di kampung To Tinco.
Karakter kepemimpinan kedua, adalah
demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut kemerdekaan. Dalam Lontara
Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi, ”Naiyya ri asengge
maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona. Maduanna, tenri
angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao maniang, lao manorang,
lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.
Petuah ini berarti bahwa “yang
dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi
kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga, tidak
dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke atas, ke bawah”. Benar-benar
sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat.
Berbicara tentang Bugis juga selalu
identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan
gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal
Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti
kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil
penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun
(1950–1990). Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'.
Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun
hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di
Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Kajao Laliddong adalah salah satu
diplomat di kerajaan Bone. Kedudukannya sebagai duta keliling mengantarkan
namanya ke jenjang lebih tenar, baik kerajaan maupun di kerajaan tetangga.
Zaman Kajao Laliddong adalah zaman kedamaian dan persahabatan yang terjadi
dalam abad ke 16. Masa itu tumbuh kesadaran ingin mempersatukan diri dan
mengurus kesejahteraan rakyat masing-masing kerajaan. Dikenal masa itu dengan
istilah “tana passiajingeng” yaitu sebutan suatu kerajaan kepada kerajaan
tetangga, bahwa kerajaan tetangga itu adalah Negara family atau sahabat,
berarti sudah semacam perjanjian atau kontrak diantara mereka tidak akan saling
menganggu dan musuh dari luar akan dihadapi bersama. Konsep timbulnya
perjanjian-perjanjian persahabatan itu di Sulawesi selatan banyak disponsori
oleh kajao Laliddong.
Lebih lanjut di sebut dalam naskah lontara
tentang pembatasan kekuasaan kekuasaan raja dan kewajiban raja untuk
menghormati dan mentaati hak-hak rakyatnya ditemukan dialok yang menarik antara
negarawan-negarawan Bugis dan Makassar pada zaman dahulu (abad 16). Dialog itu
berkisar pada getting-bicara (kepastian
hukum) tentang kenegaraan yang dianut oleh masing-masing daerah yaitu Kajao
Laliddong dari Bone, Puang Ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang Tau
Tongengenge dari Soppeng, To Meggu’ Maccae dari Luwu, La Pagala Nene’ Mallomo
dari Sidenreng dan Boto Lempangan dari Gowa. Mereka ini adalah ahli-ahli piker,
cendekiawan dan negarawan pada masanya, dianggap mengadakan pertemuan di
Cenrana (Bone) untuk saling menentukan sistem politil yang dianut oleh
negaranya. Hasil diskusinya juga dianggap sebagai nilai kepemimpinan yang pada masing-masing
daerah.
Pertama kali bertanya Puang ri
Maggalatung kepada Kajao Laliddong tentang kepastian hukum di Bone yang
mengangkat derajat dan kebesaran tanah Bone, serta memakmurkan rakyar Bone.
Kajao menjawab bahwa “yang saya angkat pejabat adalah keturunan pejabat
pemerintahan; yang saya angkat sebagai duta Negara adalah keturunan duta; yang
saya angkat jadi Matowa (kepala kampung) adalah keturunan Matowa; yang saya
angkat sebagai raja adalah keturunan raja. Kemudian Kajao sambung lagi “saya
tidak akan mengambil kayu disandarkan, kalau bukan saya yang sandarkan, saya
tidak mengambil kayu ditetak sebelah-menyebelah kalau bukan saya yang tetak,
saya tidak mengeluarkan kerbau kalau bukan kerbauku, saya tidak mengambil
tanaman kalau bukan saya yang menanamnya”.
Kedua kalinya Puang Maggalatung
berpaling kepada Nene’ Mallomo bertanya, bagaimana engkau tentang kepastian
hukuman di Sidenreng yang memakmurkan rakyatnya, menyuburkan tanam-tanaman.
Jawab Nene’ dalam bahasa ungkapan “suatu waktu saya suruh anak saya
menggantikan saya melaksanakan upacara mappalili
(upacara mulai turun sawah) dan dalam memulai membajak sawah, patahlah
lukuhnya, lalu diambilnya lukuh orang lain tanpa diberitahu pemiliknya. Tiga
tahun berturu-turut, panen tidak jadi dan berjangkit wabah penyakit dalam
negeri. Kucari sebabnya dan kutemukan bahwa anakkulah yang menjadi sumber, maka
kubunuhlah anakku itu. Kemudian tanya Puang Ri Maggalatung “apakah pantas
pembunuhan itu hanya karena sebuah lukuh?” Nene’ dengan tegas berkata “bicara
(hukum) itu tidak beranak, lebih penting artinya rakyat banyak dari pada
seorang”.
Ketiga kalinya Puang ri Maggalatung
berpaling kepada Boto Lempangan bertanya “bagaimana kepastian hukum di Gowa?
Jawab Boto “bicara musu! Nabelleperru’ nagau mawatang”, artinya hukum perang
dan acuh tak sungguh serta tidak negeri Gowa jadi kecil.
Berkata lagi Puang, bagamana dengan
To Megu Maccae ri Luwu, bagaimana kepastian hukum yang besarkan negeri di Luwu.
Jawab Maccae ri Luwu “olakuu uakkolari. Timbangakku uattimbangi. Kupariawai
riawae, kuparitengngai ri tengngae, kupariwawoi riwawaoe” artinya takaranku
kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah kutempatkan
dibawah, yang tengah kutempatkan ditengah dan yang tinggi kutempatkan diatas.
Lalu berkata Kajao kepada Puang ri
Maggalatung, bagaimana halnya kepastian hukum di Wajo yang membesarkan
negerimu, meskipun diluar daerah Wajo bila mengataan dirinya orang dari Wajo,
maka menjadilah padinya. Jawab Puang, belum pernah saya sendiri memutuskan
perkara semenjak orang Wajo merayakan saya. Denga sebuah kalimat saja, sudah
menggambarkan keseluruhan keadaan dan sistem kekuasaan di Wajo, rakyatnya
merasa ikut serta dalam kekuasaan negaranya. Orang Wajo mencintai
permusyawaratan dan kemerdekaan sebaliknya menolak segala bentuk dan sistem
mutlak dari seorang raja atau pemerintah.
Pertemuan para cendekiawan itu
menghasilkan beberapa kesimpulan-kesimpilan piker mengenai nilai-nilai
kepemimpinan ayng diterapkan di daerahnya, kesimpulan itu dapat digambarkan,
bahwa Kajao di Bone mengutamakan kejujuran
dalam semua tindakan, kemudian jabatan kepemimpinan Negara diangkat dari
mereka yang mempunyai warisan keahlian. Nene’ di Sidenreng mengutamakan ketegasan hukum dan aturan, sekalipun
anak kandungnya sendiri melakukan pelanggaran harus diberi hukuman yang
setimpal menurut hukum yang berlaku, tanpa pilih buluh dan kasih. Kepentingan
umum diutamakan daripada sendiri.
Boto Lempangan di Gowa mengutamakan kekuatan dan kekuasaan, oleh karena
hanya dengan kekuatan dan kekuasaan itu, Negara bisa menjadi besar. Sebaliknya
To Meggu ri Luwu mengutamakan kewajaran
dan keserasian. Apa yang dirasa buruk, jangan diperlakukan kepada oran lain
yang buruk itu. Kalau meamng mencubit diri itu sakit, janganlah mencubit orang
lain. Semua harus diukur melalui diri sendiri.
Puang di Wajo mengutamakan
penyelenggaraan hukum secara adil. Ungkapan orang Wajo yang menyatakan “merdeka
orang Wajo hanya adatnya saja yang dipertuan”. Apapun dan siapapun jika tidak
mengikuti adat, maka orang Wajo akan menolaknya. Semua orang harus taat dan
hormat kepada aturan hukum yang telah disepakati.
Demikian gambaran kepastian hukum
yang juga merupakan nilai kepemimpinan lokal tiap cendekiawan yang dianut di
daerahnya masing-masing yang dianggapnya turut memakmurkan dan menjamin
keadilan negaranya.
Dari asumsi tersebut, terselip
harapan untuk kembali melestarikan spirit kebugisan kita. Karena di sana ada
kearifan hidup, ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek
moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup.
Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup.
Ketika melihat fenomena budaya yang
berkembang di masyarakat Sulawesi selatan khususnya dikalangan generasi muda
(mahasiswa). Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna
keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa banyak anak muda yang bisa
bercerita lengkap tentang sejarah? Sejauh mana anak muda tahu tentang
tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan di wilayah ini? Berapa banyak anak muda
yang bisa menulis dan membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak
muda yang bisa berbahasa lokal dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak
muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)? Apakah
perilaku generasi saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’)
seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional
(Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara sesama warga di dalam dan luar
daerah?
Pada dewasa ini, teramat penting
untuk menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat nilai-nilai kepemimpinan. Karena
diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia (termasuk masyarakat Sulawesi
Selatan) hidup dalam kecenderungan yang bersifat global. Pergeseran budaya yang
semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi
yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang
lebih maju dan modern.
Dalam situasi dan kondisi seperti
ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan akan semakin
terkikis atau mungkin hilang dari sanubari mahasiswa, yang memang jarang
tersentuh dengan gagasan–gagasan kearifan lokal.
Di
zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak
sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya kita jadikan sebagai
bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi
untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai “gelitik
luhur ” dan bahan renungan bagi semua, akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa
cinta nilai lokalitas kita masing-masing.
0 komentar: