Selasa, 20 Agustus 2013

Demokrasi itu Bugis



Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki  ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya  mencari cara sedemikian rupa  demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya. Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki  prinsip sebgai pegangan maka segala yang  kita lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang.
Demikian pula suku bangsa yang ada di Sulawesi selatan (Bugis dan Makassar) sejak dahulu kala setiap suku telah memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam  menjalankan segala aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.
Selain membahas tentang etika kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis seperti Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong, juga memuat tentang karakter kepemimpinan politik manusia Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah petuah berharga tanah Bugis berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang berarti bahwa ”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu”. Prinsip ini dapat ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone La Patau Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710 dengan hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Maroa Wajo X La Pakoko Topabbele’ menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena memperkosa seorang perempuan di kampung To Tinco.
Karakter kepemimpinan kedua, adalah demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut kemerdekaan. Dalam Lontara Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi, ”Naiyya ri asengge maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona. Maduanna, tenri angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao maniang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.
Petuah ini berarti bahwa “yang dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga, tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke atas, ke bawah”. Benar-benar sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat.
Berbicara tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950–1990). Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'. Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Kajao Laliddong adalah salah satu diplomat di kerajaan Bone. Kedudukannya sebagai duta keliling mengantarkan namanya ke jenjang lebih tenar, baik kerajaan maupun di kerajaan tetangga. Zaman Kajao Laliddong adalah zaman kedamaian dan persahabatan yang terjadi dalam abad ke 16. Masa itu tumbuh kesadaran ingin mempersatukan diri dan mengurus kesejahteraan rakyat masing-masing kerajaan. Dikenal masa itu dengan istilah “tana passiajingeng” yaitu sebutan suatu kerajaan kepada kerajaan tetangga, bahwa kerajaan tetangga itu adalah Negara family atau sahabat, berarti sudah semacam perjanjian atau kontrak diantara mereka tidak akan saling menganggu dan musuh dari luar akan dihadapi bersama. Konsep timbulnya perjanjian-perjanjian persahabatan itu di Sulawesi selatan banyak disponsori oleh kajao Laliddong.
Lebih lanjut di sebut dalam naskah lontara tentang pembatasan kekuasaan kekuasaan raja dan kewajiban raja untuk menghormati dan mentaati hak-hak rakyatnya ditemukan dialok yang menarik antara negarawan-negarawan Bugis dan Makassar pada zaman dahulu (abad 16). Dialog itu berkisar pada getting-bicara (kepastian hukum) tentang kenegaraan yang dianut oleh masing-masing daerah yaitu Kajao Laliddong dari Bone, Puang Ri Maggalatung dari Wajo, Topacaleppang Tau Tongengenge dari Soppeng, To Meggu’ Maccae dari Luwu, La Pagala Nene’ Mallomo dari Sidenreng dan Boto Lempangan dari Gowa. Mereka ini adalah ahli-ahli piker, cendekiawan dan negarawan pada masanya, dianggap mengadakan pertemuan di Cenrana (Bone) untuk saling menentukan sistem politil yang dianut oleh negaranya. Hasil diskusinya juga dianggap sebagai nilai kepemimpinan yang pada masing-masing daerah.
Pertama kali bertanya Puang ri Maggalatung kepada Kajao Laliddong tentang kepastian hukum di Bone yang mengangkat derajat dan kebesaran tanah Bone, serta memakmurkan rakyar Bone. Kajao menjawab bahwa “yang saya angkat pejabat adalah keturunan pejabat pemerintahan; yang saya angkat sebagai duta Negara adalah keturunan duta; yang saya angkat jadi Matowa (kepala kampung) adalah keturunan Matowa; yang saya angkat sebagai raja adalah keturunan raja. Kemudian Kajao sambung lagi “saya tidak akan mengambil kayu disandarkan, kalau bukan saya yang sandarkan, saya tidak mengambil kayu ditetak sebelah-menyebelah kalau bukan saya yang tetak, saya tidak mengeluarkan kerbau kalau bukan kerbauku, saya tidak mengambil tanaman kalau bukan saya yang menanamnya”.
Kedua kalinya Puang Maggalatung berpaling kepada Nene’ Mallomo bertanya, bagaimana engkau tentang kepastian hukuman di Sidenreng yang memakmurkan rakyatnya, menyuburkan tanam-tanaman. Jawab Nene’ dalam bahasa ungkapan “suatu waktu saya suruh anak saya menggantikan saya melaksanakan upacara mappalili (upacara mulai turun sawah) dan dalam memulai membajak sawah, patahlah lukuhnya, lalu diambilnya lukuh orang lain tanpa diberitahu pemiliknya. Tiga tahun berturu-turut, panen tidak jadi dan berjangkit wabah penyakit dalam negeri. Kucari sebabnya dan kutemukan bahwa anakkulah yang menjadi sumber, maka kubunuhlah anakku itu. Kemudian tanya Puang Ri Maggalatung “apakah pantas pembunuhan itu hanya karena sebuah lukuh?” Nene’ dengan tegas berkata “bicara (hukum) itu tidak beranak, lebih penting artinya rakyat banyak dari pada seorang”.
Ketiga kalinya Puang ri Maggalatung berpaling kepada Boto Lempangan bertanya “bagaimana kepastian hukum di Gowa? Jawab Boto “bicara musu! Nabelleperru’ nagau mawatang”, artinya hukum perang dan acuh tak sungguh serta tidak negeri Gowa jadi kecil.
Berkata lagi Puang, bagamana dengan To Megu Maccae ri Luwu, bagaimana kepastian hukum yang besarkan negeri di Luwu. Jawab Maccae ri Luwu “olakuu uakkolari. Timbangakku uattimbangi. Kupariawai riawae, kuparitengngai ri tengngae, kupariwawoi riwawaoe” artinya takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah kutempatkan dibawah, yang tengah kutempatkan ditengah dan yang tinggi kutempatkan diatas.
Lalu berkata Kajao kepada Puang ri Maggalatung, bagaimana halnya kepastian hukum di Wajo yang membesarkan negerimu, meskipun diluar daerah Wajo bila mengataan dirinya orang dari Wajo, maka menjadilah padinya. Jawab Puang, belum pernah saya sendiri memutuskan perkara semenjak orang Wajo merayakan saya. Denga sebuah kalimat saja, sudah menggambarkan keseluruhan keadaan dan sistem kekuasaan di Wajo, rakyatnya merasa ikut serta dalam kekuasaan negaranya. Orang Wajo mencintai permusyawaratan dan kemerdekaan sebaliknya menolak segala bentuk dan sistem mutlak dari seorang raja atau pemerintah.
Pertemuan para cendekiawan itu menghasilkan beberapa kesimpulan-kesimpilan piker mengenai nilai-nilai kepemimpinan ayng diterapkan di daerahnya, kesimpulan itu dapat digambarkan, bahwa Kajao di Bone mengutamakan kejujuran dalam semua tindakan, kemudian jabatan kepemimpinan Negara diangkat dari mereka yang mempunyai warisan keahlian. Nene’ di Sidenreng mengutamakan ketegasan hukum dan aturan, sekalipun anak kandungnya sendiri melakukan pelanggaran harus diberi hukuman yang setimpal menurut hukum yang berlaku, tanpa pilih buluh dan kasih. Kepentingan umum diutamakan daripada sendiri.
Boto Lempangan di Gowa mengutamakan kekuatan dan kekuasaan, oleh karena hanya dengan kekuatan dan kekuasaan itu, Negara bisa menjadi besar. Sebaliknya To Meggu ri Luwu mengutamakan kewajaran dan keserasian. Apa yang dirasa buruk, jangan diperlakukan kepada oran lain yang buruk itu. Kalau meamng mencubit diri itu sakit, janganlah mencubit orang lain. Semua harus diukur melalui diri sendiri.
Puang di Wajo mengutamakan penyelenggaraan hukum secara adil. Ungkapan orang Wajo yang menyatakan “merdeka orang Wajo hanya adatnya saja yang dipertuan”. Apapun dan siapapun jika tidak mengikuti adat, maka orang Wajo akan menolaknya. Semua orang harus taat dan hormat kepada aturan hukum yang telah disepakati.
Demikian gambaran kepastian hukum yang juga merupakan nilai kepemimpinan lokal tiap cendekiawan yang dianut di daerahnya masing-masing yang dianggapnya turut memakmurkan dan menjamin keadilan negaranya.
Dari asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit kebugisan kita. Karena di sana ada kearifan hidup, ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup. 
Ketika melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Sulawesi selatan khususnya dikalangan generasi muda (mahasiswa). Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa banyak anak muda yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah? Sejauh mana anak muda tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan di wilayah ini? Berapa banyak anak muda yang bisa menulis dan membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak muda yang bisa berbahasa lokal dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)? Apakah perilaku generasi saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional (Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara sesama warga di dalam dan luar daerah?
Pada dewasa ini, teramat penting untuk menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat nilai-nilai kepemimpinan. Karena diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia (termasuk masyarakat Sulawesi Selatan) hidup dalam kecenderungan yang bersifat global. Pergeseran budaya yang semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi  yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan akan semakin terkikis atau mungkin hilang dari sanubari mahasiswa, yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan kearifan lokal.
Di zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya kita jadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai “gelitik luhur ” dan bahan renungan bagi semua, akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa cinta nilai lokalitas kita masing-masing.

0 komentar: