Menyibak Masa depan yang Cerah
Hembusan
angin malam seolah menemaniku termenung di sudut teras rumah. Aku mengingat
kembali saat-saat indah dengan ayah yang sangat menyanyangiku. Aku diajak
jalan, main, dan semua hal itu membuat aku tak sanggup menahan senyum sembringahku. Namun mengingat keadaanku sekarang,
sebagai seorang yatim, hanya bisa berangan semoga aku bisa mendapatkan ayahku
kembali.
Tiga
tahun yang lalu, ia mengalami serangan jantung, saat ibuku meminta untuk
bercerai. Profesi mereka masing-masing yang membuat hal tersebut. Ibuku yang
keras kepala, masalah karirlah, bisnis, sehingga ayah mengalah. Belum sempat
menjatuhkan talak, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku ingat, waktu itu
ibuku sempat menyesal, suami yang sangat mencintainya telah tiada.
Tapi
aku masih tidak mengerti, ibuku masih seperti dulu, pengatur, penentu
keputusan. Sifat itu yang membuat ayah tak sanggup menghadapi ibu. Sesaat
lamunanku terhenti, saat mobil sedan merah berhenti di depan rumah. Aku melihat
ibuku turun dari mobil itu, dengan senyum dan lambaian tangannya, ia melepas
kepergian kendaraan itu. Cepat-cepat ku hapus sisa-sisa air mata yang masih
melekat di pipi dan memperlihatkan senyum pada ibu.
“Belum
tidur Rani?” tanya ibuku yang terlihat sangat lelah dan berlalu dariku. “Ini
juga sudah mau tidur ko’.” Jawab ku dengan ragu. Akupun beranjak dari tempatku
melamun dan melangkahkan kaki masuk rumah. Aku melihat ibu, baring terlentang
diatas tempat tidur empuknya, aku menghampirinya.
“Ma,
pekerjaannya terlalu banyak ya?” tanyaku agak ragu. “tidak, mama Cuma mampir di
rumah teman lama”, jawabnya sambil memejamkan mata “mm… yang mengantar mama
pulang tadi ya?” tanyaku lagi. Ibuku tak menjawab apa-apa, aku pun
meninggalkannya dan menuju kamarku.
Meskipun
sudah terlentang di tempat tidur, aku belum bisa tidur karena masih memikirkan
kata-kataku tadi. “kenapa ya aku harus gugup jika berhadapan dengan mama,
bukankah sudah saatnya mama memahami keadaan anaknya yang sudah remaja?”
gumamku. Tapi aku juga kasihan dengan mama, setalah ayah tiada, dialah yang
selama ini mengurus dan menghidupiku hingga aku sudah duduk di bangku SLTA.
***
Esok
hari yang begitu cerah, begitu indah, membuat aku bangun lebih awal. Setelah
mandi, aku mengenakan seragamku yang telah aku persiapkan sebelumnya. Senyumku
mengembang saat melihat diri di kaca. “ternyata aku juga bisa menyiapkan diri
seperti ini, tidak seperti dulu, hanya mama yang mengurus semua,” kataku dalam
hati. Aku mendengar suara mama memanggil dari dapur. “Ran, sarapan!”. Aku
meraih tas dan tak lupa memasukkan ponsel kedalamnya. Pintu kamar aku tutup dan
beranjak menuju arah mama yang kini tengah duduk menungguku. “selamat pagi sayang”
sapa mama. Akupun mencicipi roti yang telah diolesi selai yang disiapkan oleh
mama.
“Oh
ya Ran, nanti mama pulang telat, kamu tdak usah menunggu mama ya!”, ucap mama
sambil beranjak meninggalkan meja makan, ia mencium pipiku sebelum akhirnya
keluar. Aku diam, tak bisa bilang apa-apa melepas mama pergi. Aku pun
meninggalkan meja makan.
Suara
mobil yang berhenti didepan rumah memaksaku untuk tidak keluar, kulihat sedan
merah itu lagi “rupanya mama sudah punya pacar” pikirku. Setelah sedan itu
berlalu, aku baru keluar rumah.
Selang
beberapa menit, suara motor Fa’I yang terhenti didepan rumah. Dia adalah teman
yang sedang dekat dengan aku. Sudah dua bulan belakangan ini ia selalu
menjemputku, sudah mau berangkat?” tanyanya. “ia” jawab ku. Kami pun berlalu
meninggalkan tempat itu.
***
“aku
heran sama kamu Rani, kenapa sih kamu sering murung?” tanya Fa’I seolah ingin
mengetahui semua tentang sikapku belakangan ini. “i, aku harus bagaimana,
akhir-akhir ini, ibuku lain.” Jawabku pelan. “lain bagaimana?” tambah Fa’i, “hm
.. aku melihat ibuku lebih pendiam, dibilang ia terlalu lelah dengan
kesibukannya juga tidak, karena dia terlihat santai ko’, trus yang dulunya suka
marah-marah sekarang jarang lagi.” Jawabku dengan menghembuskan nafas panjang.
“la,
bukannya kamu senang?” tanyanya lagi. Aku diam, seakan-akan melamunkan pria
yang menjemput ibuku tadi pagi.” Mungkin ibuku akan menikah lagi, aku melihat
dia sering diantar jemput oleh seorang pria seumurannya, aku belum bisa
menerima kalau aku punya papa baru.” Jawabku sambil menatap ke arah awan.
“memangnya kenapa?” tanya Fa’I lagi. “aku belum bisa melupakan ayahku, dia itu
tidak ada dua-duanya di dunia ini, tapi sayang Tuhan memanggilnya terlalu
cepat”. Jelasku.
“Ran,
ayah kamu itu orang baik, jadi Tuhan segera menjemputnya dan bisa saja dia
sudah berada di surga” kata Fa’I meyakinkanku. Aku terharu mendengar ucapannya,
aku seolah telah sadar bahwa baik buruknya seseorang pasti satu tempat
kembalinya. Aku tersenyum pada Fa’I “terima kasih ya Fa”, aku baru mendengar
kata bijak seperti itu.
“tak
perlu Ran, aku tahu tentang hal itu karena ayahku juga sama seperti ayah kamu
dulu, orangnya alim suka memberiku nasehat-nasehat, jelas Fa’I “iya, sudah lama
aku tidak mendapat nasehat seperti itu, hanya saja aku masih ingat kata ayah
dulu, hanya aku milik satu-satunya selain mama, jadi aku harus sabar menghadapi
mama” kataku sambil menatap temanku itu.
“nanti
kamu ke rumah ya, ayahku buat pengajian, hari ini ia tidak masuk kantor, semua
karyawannnya juga diajak.” Kata Fa’i penuh harap. “oh ya”, balasku dengan
senyum. “tahu nggak karena senangnya dengan acara-acara keagamaan seperti itu,
ia menyuruh asistennya menjemput orang yang memang senang dan mau hadir, ya,
moga saja ayahku mendapatkan kebaikan sebagai balasannya, dan semoga saja
dengan usaha ayah, ibuku mendapat ketenangan dialamnya sana” kata Fa’i dengan
nada pelan. Kami pun meninggalkan tempat dimana kami saling ngobrol.
***
Di
mall, aku bersama Fa’i berjalan dengan tenang memandangi para pengunjung yang
masing-masing berbelanja kebutuhan yang begitu banyak. “I, ke tempat pakaian
yuk, aku ingin cari mukena dan pakaian muslimah!” pintaku pada Fa’i. ia
tersenyum dan langsung mengantarku ke tempat itu. Setelah tiba disana dan belum
lama mencari-cari, aku melihat seorang wanita yang sedang mencoba mengenalan
mukena yang dibelinya. Setelah memperhatikan lebih jelas wanita itu adalah
mama, dia hanya sendiri berbelanja di sana. Aku hanya menatap dan terus
memperhatikannya, aku merasa mata ini sudah berkaca-kaca seakan tak mengerti
dengan apa yang kulihat saat ini. Wanita yang kuperhatikan semakin menjauh dan
kini telah hilang dari jangkauan mataku. Aku tak tahu harus berbuat apa, saat
itu aku benar-benar terpaut melihat mama, dan hal itu membuat aku semakin tak
mengerti dengan sosok mama.
***
Suasana
siang dirumah Fa’i terasa bersahaja. Satu persatu undangan memasuki halaman
rumah dan mengambil tempat yang disediakan di bawah tenda yang khusus dibuat
untuk acara pengajian itu. Aku seperti merasakan berada disamping ayah,
samahalnya beberapa tahun lalu. Dulu ayah juga sering mengadakan acara seperti
ini, namun terakhir kali aku ingat, acara ituu berhanti karena mama sendiri tak
pernah hadir.
Lamunanku
buyar saat ayah Fa’i menyapaku dan mengajakku ke bawah tenda. Sementara Fa’i
hanya sibuk mempersiapkan segala persiapan. Tak sedikit juga teman-teman
sekolah hadir di sana. Kuraih sebuah kursi dan kududuk layaknya sebagai tamu.
Kutatap sebuah mobil sedan merah yang baru parkir di halaman. Kedua mataku
menyaksikan dengan jelas wanita yang baru turun. Dari mobil itu, tadi aku
melihatnya, ia terlihat lebih anggun dengan busana muslimah yang kini ia pakai.
Mulutku ternganga, mataku membelalak seakan tak percaya melihatnya. “alangkah
cantiknya mama”, pujiku dalam hati. Ia berjalan menuju tempat tamu. Ia tidak
melihat kalau aku duduk di sudut kanan depannya. Aku berusaha menutup diri agar
mama tak melihatku.
***
Setelah
kejadian itu, aku sering murung di kamar. Aku tak berani bicara dengan mam
tentang apa yang telah aku lihat siang tadi. Sayup-sayup aku melangkah ke kamar
mama, aku terkesima dengan apa yang aku lihat. Sebuah Al-qur’an diatas meja
menyilaukan mataku, aku ingat dulu ayah sering mengajariku membacanya, tapi
karena ia sudah pergi aku pun tak pernah memegang apalagi membacanya.
Di
sudut meja itu, aku masih melihat susunan buku-buku islami yang tertata rapi.
Tak hentinya aku memperhatikan semua itu. “rani …” sopan lembut ini
mengangetkanku. “Ma, maafkan Rani ya, sudah masuk kam..” pembicaraanku di
potong oleh mama, “rani….mama bukan monster yang selalu memukuli kamu, aku ini
mama kamu yang sangat menyanyangi kamu”. Ucap mam dengan tatapan kosong dan
penuh iba kepadaku.
Aku
tak pernah menyangka mama akan berkata seperti itu, air mataku berlinangan
melewati senyum yang kuukir di bibirku. Aku memeluknya dengan erat. “Ma…,”
lagi-lagi mama memotong ucapanku. “sudahlah, semua adalah sakah mama, aku tahu
kamu juga ada di rumah Fa’i tadi, ayahnya yang memberitahukan mama. Mama
senang, kamu bergaul dengan Fa’i”. ucap mama dan masih memelukku. Sudah lama
aku mendambakan suasana seperti ini, laksana lahan gersang yang mengembara di
jalan itu. Kesejukan menyelimuti tubuhku, pelukan mama menghangatkan tubuhku.
“jadi mama mau menikah lagi dengan pria yang sering mengantar mama itu?”
tanyaku pelan. Mama tersenyum tak kuasa menahan tawanya. “Ran, Pria itu
asistennya pak Wijayanto, ayahnya Fa’i, tak mungkinlahmama menikah dengan orang
sudah punya istri” jawab mama dengan senyum. Hatiku lega mendengar ucapan mama.
“aku tak akan kehilangan mama kan?” tanyaku penasaran. “Siapa juga yang mau
pergi” jawab mama.
Aku
benar-benar terharu, semua penjelasan mama semakin meyakinkanku bahwa kini kamu
akan memulai kehidupan baru. Saat mama mulai menyesali diri dengan apa yang
telah dilakukannya dulu dan telah berusaha memperbaiki diri dengan mau
mengikitu acara-acara keagamaan sama halnya di rumah Pak Wijayanto, pria yang
juga diam-diam ada hati dengan mama.
sebuah tulisan dari seorang Idaman :)
0 komentar: