Kamis, 01 Maret 2012

Menyibak Masa depan yang Cerah


Hembusan angin malam seolah menemaniku termenung di sudut teras rumah. Aku mengingat kembali saat-saat indah dengan ayah yang sangat menyanyangiku. Aku diajak jalan, main, dan semua hal itu membuat aku tak sanggup menahan senyum sembringahku. Namun mengingat keadaanku sekarang, sebagai seorang yatim, hanya bisa berangan semoga aku bisa mendapatkan ayahku kembali.
Tiga tahun yang lalu, ia mengalami serangan jantung, saat ibuku meminta untuk bercerai. Profesi mereka masing-masing yang membuat hal tersebut. Ibuku yang keras kepala, masalah karirlah, bisnis, sehingga ayah mengalah. Belum sempat menjatuhkan talak, ayah menghembuskan nafas terakhirnya. Aku ingat, waktu itu ibuku sempat menyesal, suami yang sangat mencintainya telah tiada.
Tapi aku masih tidak mengerti, ibuku masih seperti dulu, pengatur, penentu keputusan. Sifat itu yang membuat ayah tak sanggup menghadapi ibu. Sesaat lamunanku terhenti, saat mobil sedan merah berhenti di depan rumah. Aku melihat ibuku turun dari mobil itu, dengan senyum dan lambaian tangannya, ia melepas kepergian kendaraan itu. Cepat-cepat ku hapus sisa-sisa air mata yang masih melekat di pipi dan memperlihatkan senyum pada ibu.
“Belum tidur Rani?” tanya ibuku yang terlihat sangat lelah dan berlalu dariku. “Ini juga sudah mau tidur ko’.” Jawab ku dengan ragu. Akupun beranjak dari tempatku melamun dan melangkahkan kaki masuk rumah. Aku melihat ibu, baring terlentang diatas tempat tidur empuknya, aku menghampirinya.
“Ma, pekerjaannya terlalu banyak ya?” tanyaku agak ragu. “tidak, mama Cuma mampir di rumah teman lama”, jawabnya sambil memejamkan mata “mm… yang mengantar mama pulang tadi ya?” tanyaku lagi. Ibuku tak menjawab apa-apa, aku pun meninggalkannya dan menuju kamarku.
Meskipun sudah terlentang di tempat tidur, aku belum bisa tidur karena masih memikirkan kata-kataku tadi. “kenapa ya aku harus gugup jika berhadapan dengan mama, bukankah sudah saatnya mama memahami keadaan anaknya yang sudah remaja?” gumamku. Tapi aku juga kasihan dengan mama, setalah ayah tiada, dialah yang selama ini mengurus dan menghidupiku hingga aku sudah duduk di bangku SLTA.
***
Esok hari yang begitu cerah, begitu indah, membuat aku bangun lebih awal. Setelah mandi, aku mengenakan seragamku yang telah aku persiapkan sebelumnya. Senyumku mengembang saat melihat diri di kaca. “ternyata aku juga bisa menyiapkan diri seperti ini, tidak seperti dulu, hanya mama yang mengurus semua,” kataku dalam hati. Aku mendengar suara mama memanggil dari dapur. “Ran, sarapan!”. Aku meraih tas dan tak lupa memasukkan ponsel kedalamnya. Pintu kamar aku tutup dan beranjak menuju arah mama yang kini tengah duduk menungguku. “selamat pagi sayang” sapa mama. Akupun mencicipi roti yang telah diolesi selai yang disiapkan oleh mama.
“Oh ya Ran, nanti mama pulang telat, kamu tdak usah menunggu mama ya!”, ucap mama sambil beranjak meninggalkan meja makan, ia mencium pipiku sebelum akhirnya keluar. Aku diam, tak bisa bilang apa-apa melepas mama pergi. Aku pun meninggalkan meja makan.
Suara mobil yang berhenti didepan rumah memaksaku untuk tidak keluar, kulihat sedan merah itu lagi “rupanya mama sudah punya pacar” pikirku. Setelah sedan itu berlalu, aku baru keluar rumah.
Selang beberapa menit, suara motor Fa’I yang terhenti didepan rumah. Dia adalah teman yang sedang dekat dengan aku. Sudah dua bulan belakangan ini ia selalu menjemputku, sudah mau berangkat?” tanyanya. “ia” jawab ku. Kami pun berlalu meninggalkan tempat itu.
***
“aku heran sama kamu Rani, kenapa sih kamu sering murung?” tanya Fa’I seolah ingin mengetahui semua tentang sikapku belakangan ini. “i, aku harus bagaimana, akhir-akhir ini, ibuku lain.” Jawabku pelan. “lain bagaimana?” tambah Fa’i, “hm .. aku melihat ibuku lebih pendiam, dibilang ia terlalu lelah dengan kesibukannya juga tidak, karena dia terlihat santai ko’, trus yang dulunya suka marah-marah sekarang jarang lagi.” Jawabku dengan menghembuskan nafas panjang.
“la, bukannya kamu senang?” tanyanya lagi. Aku diam, seakan-akan melamunkan pria yang menjemput ibuku tadi pagi.” Mungkin ibuku akan menikah lagi, aku melihat dia sering diantar jemput oleh seorang pria seumurannya, aku belum bisa menerima kalau aku punya papa baru.” Jawabku sambil menatap ke arah awan. “memangnya kenapa?” tanya Fa’I lagi. “aku belum bisa melupakan ayahku, dia itu tidak ada dua-duanya di dunia ini, tapi sayang Tuhan memanggilnya terlalu cepat”. Jelasku.
“Ran, ayah kamu itu orang baik, jadi Tuhan segera menjemputnya dan bisa saja dia sudah berada di surga” kata Fa’I meyakinkanku. Aku terharu mendengar ucapannya, aku seolah telah sadar bahwa baik buruknya seseorang pasti satu tempat kembalinya. Aku tersenyum pada Fa’I “terima kasih ya Fa”, aku baru mendengar kata bijak seperti itu.
“tak perlu Ran, aku tahu tentang hal itu karena ayahku juga sama seperti ayah kamu dulu, orangnya alim suka memberiku nasehat-nasehat, jelas Fa’I “iya, sudah lama aku tidak mendapat nasehat seperti itu, hanya saja aku masih ingat kata ayah dulu, hanya aku milik satu-satunya selain mama, jadi aku harus sabar menghadapi mama” kataku sambil menatap temanku itu.
“nanti kamu ke rumah ya, ayahku buat pengajian, hari ini ia tidak masuk kantor, semua karyawannnya juga diajak.” Kata Fa’i penuh harap. “oh ya”, balasku dengan senyum. “tahu nggak karena senangnya dengan acara-acara keagamaan seperti itu, ia menyuruh asistennya menjemput orang yang memang senang dan mau hadir, ya, moga saja ayahku mendapatkan kebaikan sebagai balasannya, dan semoga saja dengan usaha ayah, ibuku mendapat ketenangan dialamnya sana” kata Fa’i dengan nada pelan. Kami pun meninggalkan tempat dimana kami saling ngobrol.
***
Di mall, aku bersama Fa’i berjalan dengan tenang memandangi para pengunjung yang masing-masing berbelanja kebutuhan yang begitu banyak. “I, ke tempat pakaian yuk, aku ingin cari mukena dan pakaian muslimah!” pintaku pada Fa’i. ia tersenyum dan langsung mengantarku ke tempat itu. Setelah tiba disana dan belum lama mencari-cari, aku melihat seorang wanita yang sedang mencoba mengenalan mukena yang dibelinya. Setelah memperhatikan lebih jelas wanita itu adalah mama, dia hanya sendiri berbelanja di sana. Aku hanya menatap dan terus memperhatikannya, aku merasa mata ini sudah berkaca-kaca seakan tak mengerti dengan apa yang kulihat saat ini. Wanita yang kuperhatikan semakin menjauh dan kini telah hilang dari jangkauan mataku. Aku tak tahu harus berbuat apa, saat itu aku benar-benar terpaut melihat mama, dan hal itu membuat aku semakin tak mengerti dengan sosok mama.
***
Suasana siang dirumah Fa’i terasa bersahaja. Satu persatu undangan memasuki halaman rumah dan mengambil tempat yang disediakan di bawah tenda yang khusus dibuat untuk acara pengajian itu. Aku seperti merasakan berada disamping ayah, samahalnya beberapa tahun lalu. Dulu ayah juga sering mengadakan acara seperti ini, namun terakhir kali aku ingat, acara ituu berhanti karena mama sendiri tak pernah hadir.
Lamunanku buyar saat ayah Fa’i menyapaku dan mengajakku ke bawah tenda. Sementara Fa’i hanya sibuk mempersiapkan segala persiapan. Tak sedikit juga teman-teman sekolah hadir di sana. Kuraih sebuah kursi dan kududuk layaknya sebagai tamu. Kutatap sebuah mobil sedan merah yang baru parkir di halaman. Kedua mataku menyaksikan dengan jelas wanita yang baru turun. Dari mobil itu, tadi aku melihatnya, ia terlihat lebih anggun dengan busana muslimah yang kini ia pakai. Mulutku ternganga, mataku membelalak seakan tak percaya melihatnya. “alangkah cantiknya mama”, pujiku dalam hati. Ia berjalan menuju tempat tamu. Ia tidak melihat kalau aku duduk di sudut kanan depannya. Aku berusaha menutup diri agar mama tak melihatku.
***
Setelah kejadian itu, aku sering murung di kamar. Aku tak berani bicara dengan mam tentang apa yang telah aku lihat siang tadi. Sayup-sayup aku melangkah ke kamar mama, aku terkesima dengan apa yang aku lihat. Sebuah Al-qur’an diatas meja menyilaukan mataku, aku ingat dulu ayah sering mengajariku membacanya, tapi karena ia sudah pergi aku pun tak pernah memegang apalagi membacanya.
Di sudut meja itu, aku masih melihat susunan buku-buku islami yang tertata rapi. Tak hentinya aku memperhatikan semua itu. “rani …” sopan lembut ini mengangetkanku. “Ma, maafkan Rani ya, sudah masuk kam..” pembicaraanku di potong oleh mama, “rani….mama bukan monster yang selalu memukuli kamu, aku ini mama kamu yang sangat menyanyangi kamu”. Ucap mam dengan tatapan kosong dan penuh iba kepadaku.
Aku tak pernah menyangka mama akan berkata seperti itu, air mataku berlinangan melewati senyum yang kuukir di bibirku. Aku memeluknya dengan erat. “Ma…,” lagi-lagi mama memotong ucapanku. “sudahlah, semua adalah sakah mama, aku tahu kamu juga ada di rumah Fa’i tadi, ayahnya yang memberitahukan mama. Mama senang, kamu bergaul dengan Fa’i”. ucap mama dan masih memelukku. Sudah lama aku mendambakan suasana seperti ini, laksana lahan gersang yang mengembara di jalan itu. Kesejukan menyelimuti tubuhku, pelukan mama menghangatkan tubuhku. “jadi mama mau menikah lagi dengan pria yang sering mengantar mama itu?” tanyaku pelan. Mama tersenyum tak kuasa menahan tawanya. “Ran, Pria itu asistennya pak Wijayanto, ayahnya Fa’i, tak mungkinlahmama menikah dengan orang sudah punya istri” jawab mama dengan senyum. Hatiku lega mendengar ucapan mama. “aku tak akan kehilangan mama kan?” tanyaku penasaran. “Siapa juga yang mau pergi” jawab mama.
Aku benar-benar terharu, semua penjelasan mama semakin meyakinkanku bahwa kini kamu akan memulai kehidupan baru. Saat mama mulai menyesali diri dengan apa yang telah dilakukannya dulu dan telah berusaha memperbaiki diri dengan mau mengikitu acara-acara keagamaan sama halnya di rumah Pak Wijayanto, pria yang juga diam-diam ada hati dengan mama.

sebuah tulisan dari seorang Idaman :)

0 komentar: