Reproduksi Budaya Bugis
Kabupaten
Bone bukan hanya sekedar kabupaten yang berada sebelah timur kota Makassar secara
geografis, namun sebagai pusat peradaban di zamannya. Tulisan lontara menjadi
salah satu bukti eksistensi dari peradaban yang terbangun. Sistem pemerintahan
yang ada sebelum bangsa Indonesia dideklarasikan menunjukkan adanya keteraturan
kehidupan masyarakat dalam wilayah ini.
Peradaban
masa lalu yang terbangun di masanya tentunya merupakan sesuatu yang tercermin
pada saat itu. Aturan yang terbangun merupakan hal yang relevan dengan kondisi
kehidupan masyarakat bumi Arung Palakka ini. Banyak hal yang menjadi kebiasaan masa
lalu masih dilaksanakan dengan masyarakat dewasa ini. Kebiasaan ini terbangun
berdasar dengan nila-nilai budaya yang menjadi perangkat peraturan sehingga mengikat
masyarakat.
Peradaban
yang terbangun berkat pemikiran-pemikiran tentunya terikat dengan ruang dan
waktu. Kebiasaan yang berlaku dan dilakukan pada masa lalu belum tentu sesuai
dengan konteks kekinian. Hal ini kita bisa lihat pada lapisan sosial misalnya,
masyarakat Bugis membeda-bedakan manusia menurut tinggi rendah keturunannya. Ukuran
satu-satunya ialah soal darah atau keturunan sebagai unsur primair. Pembagian dalam
lapisan sosial atas golongan ini merupakan satu faktor penting yang
mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Dapat pula kita lihat pada kebiasaan-kebiasaan
tata cara dalam pernikahan terutama pada konsep pemberian uang panae’.
Dalam
tulisan ini, penulis mencoba melihat pada dua kebiasaan tersebut yang dilakukan
pada era kerajaan dan dalam bingkai bangsa Indonesia. Reproduksi budaya bugis yang
dimaksudkan pada tulisan ini adalah melihat atau mencernah kembali kebiasaan-kebiasaan
yang terbangun di masa lalu dengan membandingkan kondisi yang ada saat ini pada
budaya Bugis Bone yang harus dikritisasi berdasar dengan ruang dan waktu. Reproduksi
budaya adalah istilah yang dipakai oleh penulis untuk menujukkan relevansi dan
kebutuhan masyarakat saat ini.
Kebiasaan
yang terbangun dengan membedakan lapisan masyarakat merupakan cerminan status sosial
seseorang pada kehidupan bermasyarakat. Lapisan itu bisa dilihat pada posisi
sebagai Arung, To Deceng, To Sama dan Ata. Setiap strata sosial itu bekerja dan
memposisikan diri sebagaimana fungsinya.
Ditarik
pada konteks kekinian, pertanyaannya kemudian adalah apakah strata sosial ini
masih relevan atau tidak? Atau mungkin saja perlu untuk direproduksi? Untuk menjawabnya
tentu haruslah adil.
Globalisasi
menciptakan persaingan yang begitu ketat. Kemampuan yang menjadi dasar dalam
mengikuti zaman ini. Tingkat pendidikan merupakan salah satu ukuran indikator yang
digunakan untuk melihat itu. Bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi tentu
mempunyai kesempatan lebih besar dalam memberi andil. Terbukanya peluang dan
kesempatan bagi setiap orang untuk menempuh pendidikan semakin terbuka, yang jelas
kemampuan ekonomi mumpuni, setiap masyarakat memiliki hak yang sama tanpa
melihat status sosial. Kesempatan memimpin pun tidak mengharuskan dari kalangan
strata sosial paling tinggi.
Era
globalisasi ini telah merubah tatanan kehidupan Bugis. Status sosial yang berdasar
pada keturunan berpindah pada kemampuan individu. Siapa pun dia yang memiliki
kemampuan, maka berhak mengambil peran dalam masyarakat. Tidak ada lagi
penentuan kekuasaan berdasar pada garis keturunan, tidak ada lagi pandangan
penempatan tinggi rendah seseorang.
Pada
tata cara melangsungkan pernikahan (tentu bukan pada hal yang teknis resepsi), namun
hal yang menjadi perhatian penulis adalah uang panae’. Uang panae’ adalah
kewajiban bagi seorang calon mempelai laki-laki. Uang panae’ ini merupakan serahan
dibayarkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan jumlah nominal
tertentu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Makanya tidaklah
mengherankan bagi beberapa kalangan pria menjadikan ini sebagai momok
tersendiri dalam melangsungkan niat pernikahannya. Kebiasaan ini begitu kuat
dan menjadikan sebagai bentuk apresiasi di mata masyarakat. Semakin tinggi,
semakin memiliki pamor dalam pandangan sosial. Olehnya itu, tidak dapat dipungkiri
kalau uang panae’ ini telah menjadi gambaran keluarga dan terkesan menjadi
status sosial baru.
Kalau
pandangan tentang lapisan sosial sudah tidak dianggap sesuatu yang tidak
relevan lagi dengan kondisi zaman, bagaimana dengan kebiasaan uang panae’ ini? Apakah
hal ini sesuai dengan kondisi kekinian dan masih dianggap perlu.
Syarat
mutlak dari sebuah reproduksi kebudayaan adalah pertimbangan kearifan lokal (local
wisdom) dan agama. Kalau nilai lokalitas ini sesuai dengan nilai agama, maka
tentu saja mesti dipertahankan. Adapun yang tidak relevan dengan nilai-nilai
agama mesti dipertimbangkan untuk ditinggalkan atau direproduksi dengan sesuatu
yang baru.
Agama
merupakan aturan yang tidak terikat oleh ruang dan waktu. Aturan agama Islam
diperuntukkan untuk semua. Pertimbangan berdasarkan agama ini tentu tidak bisa
kita toleran, artinya bahwa bersifat mutlak untuk diikuti. Aturan Islam yang
berkaitan dengan pernikahan juga telah mengaturnya, menjadi sunnah dan mesti
dipermudah. Dua hal yang dianggap penting yaitu adanya Ijab Kabul dan
mengabarkan kepada orang lain.
Cara
penyampaian kepada khalayak ramai umumnya dilangsungkan dengan sangat ramai. Ini
menjadi sesuatu yang terkesan megah dan mewah dikalangan Bugis Bone. Dengan segala
prosesi yang mesti dilalui oleh kedua belah pihak menghabiskan dana yang tidak
sedikit. Prosesi pesta penikahan inilah oleh pihak perempuan menjadi tanggung
jawab pihak pria.
Merujuk
pada nilai agama tidaklah relevan. Ajaran agama menganjurkan untuk mempermudah
salah satu ibadah sunnah ini namun oleh nilai budaya terkesan mempersulit. Demikian
pula dengan jumlah nominal yang harus dikeluarkan demi berlangsungnya pesta
pernikahan, terkesan hanya pemborosan.
Cukuplah
adil apabila kita lihat pada sisi lokalitas, apa yang menjadi makna dari pemberian
uang panae’ tersebut. Reso atau dalam bahasa Indonesia berarti usaha menjadi
gambaran dari konsep uang panae’ ini. Selain material dalam nominal, ada usaha
yang mesti dibayar oleh pihak pria. Hal ini juga menjadi bukti awal bahwa usaha
pertanggung jawaban bagi seorang pria sebelum mengarungi pernikahan, sejalan
dengan pepatah Bugis yang mengatakan bahwa reso
pa temma ngingi naletei puang dewata (hanya dengan usaha keraslah dapat
berkat Tuhan). Melalui uang panae’ inilah secara tidak langsung memberi motivasi
bagi pria untuk bekerja. Apabila dilihat dari sudut pandang ini tentu menjadi
hal yang positif.
Dengan
pertimbangan diatas, membandingkan antara nilai agama dan budaya yang terbangun,
rasanya akan subjektif untuk memilih mereproduksi kebiasaan ini. Asimilasi antara
agama dan budaya dalam masyarakat Bugis adalah mutlak dan beriringan. Harapku hanya
komunikasi dalam kesepakatan besaran uang panae’ berdasar pada kebutuhan kedua
belah pihak bukan karena pamoritas dalam pandangan orang lain.
Tulisan
ini ku coba tulis di waktu luang setelah diskusi di asrama arung palakka
Yogyakarta dengan tema rekonstruksi budaya sulawesi
Di
tulis Oleh Adnan Achiruddin Saleh
Dirgahayu
Bone ku
0 komentar: