Wajah Mataram
Di kota “nusantara” yang ramah
tamahnya dan baik tingkahnya. Tak sejengkal kilo pun kamu akan hilang, karena
dengan tetap helm menempel di kepala mu, jawaban alur pun hadir di depanmu. Dengan
bokong masih menempel di sadel motor, arah jalanmu akan terkuap.
Tegur sapa mereka dengan senyuman,
akrab canda mereka dengan sopannya. Semua terungkai dalam kesantunan keratonan
yang bersahaja.
Sejauh apa pun mereka berlalu dari
balik kereta, bus ataupun pesawat, suatu malam mereka akan pulang dengan
rangkulan rindu pada ayah ibunya. Pada setiap ruas jalan, bahkan tanpa lampu
jalan sekalipun, selalu ada kehangatan. Juga untuk mereka yang sebelumnya tak
saling kenal. Kota ini adalah kota pertemuan. Mereka tak lagi peduli pada
tandusnya tanah kelahiranmu. Bukan juga tentang seberapa megah rumah di kota
asalmu. Di kota ini hanya ada dua pilihan, menjadi sama atau terasingkan.
Ini bukan kota untuk mereka yang
terpelajar. Namun tentu tak sebuas ibukota yang pada setiap langkah kau harus
berdoa untuk meyakinkan diri bahwa esok pagi masih ada waktu untuk terbangun
dan tak sengaja tertinggal oleh matahari yang terlalu tinggi.
Kota ini menyimpan banyak kerinduan.
Kerinduan untuk segera pulang mencium pipi ibumu, atau tidur bersama dengan sanak
saudara. Tapi kota ini tak kan membiarkanmu sendiri. Ia akan menikammu dengan
rasa bersalah kalau keluh yang kau lontarkan terlalu besar. Kota ini
menyediakan banyak kawan untuk orang - orang yang kesepian.
Catat saja apa yang kelak akan kau
rindukan sebelum meninggalkan kota ini barang sejengkal. Tidak hanya kumpulan laki
- laki dengan gitar cokelat yang berdendang tiap malam, atau segelas teh hangat
dan gorengan dari sudut angkringan. Pengemis yang terduduk sendu pun akan jadi
satu bagian tak terlupakan dari kota ini. Kota ini akan mengingatkanmu dengan wedang
jahe sambil mengamati becak - becak yang berlalu lalang di nol kilometer,
sepanjang Malioboro.
Menjelang Idul
Adha di tanah Mataram
0 komentar: