Selasa, 23 Oktober 2012

Wajah Mataram


Di kota “nusantara” yang ramah tamahnya dan baik tingkahnya. Tak sejengkal kilo pun kamu akan hilang, karena dengan tetap helm menempel di kepala mu, jawaban alur pun hadir di depanmu. Dengan bokong masih menempel di sadel motor, arah jalanmu akan terkuap.

Tegur sapa mereka dengan senyuman, akrab canda mereka dengan sopannya. Semua terungkai dalam kesantunan keratonan yang bersahaja.

Sejauh apa pun mereka berlalu dari balik kereta, bus ataupun pesawat, suatu malam mereka akan pulang dengan rangkulan rindu pada ayah ibunya. Pada setiap ruas jalan, bahkan tanpa lampu jalan sekalipun, selalu ada kehangatan. Juga untuk mereka yang sebelumnya tak saling kenal. Kota ini adalah kota pertemuan. Mereka tak lagi peduli pada tandusnya tanah kelahiranmu. Bukan juga tentang seberapa megah rumah di kota asalmu. Di kota ini hanya ada dua pilihan, menjadi sama atau terasingkan.
Ini bukan kota untuk mereka yang terpelajar. Namun tentu tak sebuas ibukota yang pada setiap langkah kau harus berdoa untuk meyakinkan diri bahwa esok pagi masih ada waktu untuk terbangun dan tak sengaja tertinggal oleh matahari yang terlalu tinggi.

Kota ini menyimpan banyak kerinduan. Kerinduan untuk segera pulang mencium pipi ibumu, atau tidur bersama dengan sanak saudara. Tapi kota ini tak kan membiarkanmu sendiri. Ia akan menikammu dengan rasa bersalah kalau keluh yang kau lontarkan terlalu besar. Kota ini menyediakan banyak kawan untuk orang - orang yang kesepian.
  
Catat saja apa yang kelak akan kau rindukan sebelum meninggalkan kota ini barang sejengkal. Tidak hanya kumpulan laki - laki dengan gitar cokelat yang berdendang tiap malam, atau segelas teh hangat dan gorengan dari sudut angkringan. Pengemis yang terduduk sendu pun akan jadi satu bagian tak terlupakan dari kota ini. Kota ini akan mengingatkanmu dengan wedang jahe sambil mengamati becak - becak yang berlalu lalang di nol kilometer, sepanjang Malioboro.

Menjelang Idul Adha di tanah Mataram

0 komentar: