Rabu, 12 Desember 2012

Kampung Halaman (Bagian Nilai Identitas Kebangsaan)



Sejarah mencatat bahwa Indonesia hadir karena kesepakatan raja-raja yang ada di nusantara. Setiap kerajaan itu mewakili suku yang masing-masing memiliki sistem pemerintahan dan kebiasaan sendiri dalam mengatur masyarakatnya. Keikhlasan dari merekalah Indonesia menjadi satu. Mereka merelakan wilayah dan sistem tatanan sosial yang telah dibangun kemudian melebur dibawah pemerintahan sah bangsa Indonesia.
Sudah 66 tahun sejak Indonesia di proklamirkan sebagai bangsa yang berdaulat tahun 1945 oleh Daeng Karno dan Petta Hatta. Terhitung sejak waktu itulah wilayah kerajaan juga sudah tidak berlaku kecuali daerah wilayah Yogyakarta yang tetap mempertahankan kebiasaan kerajaan dan menjadikannya sebagai daerah istimewa (tentu dengan sejarahnya sendiri).
Wilayah kerajaan sebelumnya tentu memiliki identitas diri sendiri. Mereka hadir dengan konsep dan nilai yang merupakan local wisdom (kearifan lokal) yang diangkat menjadi kebiasaan. Bisa kita lihat dari topologi suatu wilayah yang membedakan satu wilayah dengan lainnya. Dari realitas inilah, pendiri bangsa dengan kesadaran penuh mengkonsepkan bangsa ini dengan Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun satu jua).
Dari nilai identitas itulah Indonesia hadir. Ini berarti bahwa cerminan perilaku kita harus sesuai dengan identitas kita masing-masing. Dengan kesadaran inilah, mestinya orang yang terlahir di daratan Sulawesi Selatan tidak perlu malu menunjukkan cara berbicara mereka, yang berasal dari tanah Maluku pun harus tetap berani menunjukkan kebiasaan dari kampung halamannya, begitu pula dengan orang batak dengan intonasi berbicara mereka dan tentu saja setiap wilayah harus bangga dengan kebiasaan yang terbangun itu. Kebiasaan itu harus tetap di jaga ketika kita meninggalkan daerah asal. Karena dengan berbeda itulah Indonesia tetap dikatakan bangsa berdaulat.
Tentu saja bukan hanya masyarakat yang harus bangga dengan kebiasaan lokal, namun juga harus menjadi cerminan pembangunan oleh pemerintah pusat maupun lokal. Peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah dan peraturan daerah wajib hukumnya bercermin pada kearifan local. Nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat harus diakomodir dalam peraturan tersebut. Pemerintah tidak boleh melupakan asal muasal berdirinya bangsa ini.
Namun yang nampak hari ini menunjukkan realitas yang berbeda. Kita tidur di atas emas dan mandi dengan minyak, semuanya seakan tidak memberi manfaat banyak kepada bangsa ini karena lebih banyak dinikmati oleh orang asing kalaupun ada warga Indonesia, maka mereka adalah investor besar atau malah kaki tangan bangsa asing. Banyak perusahaan asing yang menguras bumi ini, bahkan bukan hanya sumber alamnya namun juga tata kehidupan sosial juga mereka rusak, maka tidaklah mengherankan banyak diantara mereka berkonflik dengan masyarakat setempat. Aktifitas mereka tentu mendapat legalitas dari pemerintah pusat maupun daerah melalui kontrak.
Banyak kebijakan pemerintah yang juga dianggap tidak sesuai dengan identitas bangsa ini. Kebijakan pemerintah mengimpor garam dan ikan, padahal secara geografis Indonesia memiliki laut lebih banyak daripada daratan, mendatangkan beras padahal bangsa ini merupakan bangsa agraris yang mayoritas penduduknya merupakan petani. Pun study banding dilakukan ke luar negeri yang dimaksudkan untuk mengambil aturan kemudian diimplimentasikan ke dalam negeri yang tentunya akan berbeda dengan kearifan lokal kita.
Selain itu, ternyata perilaku pemerintah ini juga tertular kepada pelaku-pelaku bisnis yang mementingkan materi. Dalam dunia industri hiburan misalnya, Indonesia Idol merupakan hasil impor dari luar negeri yang kemudian banyak digandrungi generasi muda, kuis yang memberi hadiah juga idenya diambil dari luar. Dalam bidang perekonomian, bukannya mengembangkan koperasi, yang merupakan tawaran konsep real bangsa ini, namun lebih memilih membesarkan Carrefour, alfa dll yang merupakan produk asing dan tentu saja membunuh masyarakat bawah.
Kalau sudah begini, masih pantaskah Indonesia disebut sebagai bangsa berdaulat atau mungkin lebih pantas disebut sebagai bangsa buruh. Hal yang mesti dilakukan adalah bercermin pada nilai-nilai nyata kebiasaan bangsa yang ada pada setiap KAMPUNG HALAMAN. Ingat, dari setiap kampung halaman inilah Indonesia ada, dari penggabungan kampung halaman inilah Indonesia diproklamirkan, dari setiap jengkal centimeter kampung halaman inilah Indonesia disebut sebagai bangsa berdaulat.
Kalau nilai kampung halaman ini telah dilupakan dan ditinggalkan maka bangsa Indonesia hanyalah symbol belaka.

0 komentar: