Kampung Halaman (Bagian Nilai Identitas Kebangsaan)
Sejarah mencatat bahwa Indonesia hadir karena
kesepakatan raja-raja yang ada di nusantara. Setiap kerajaan itu mewakili suku
yang masing-masing memiliki sistem pemerintahan dan kebiasaan sendiri dalam
mengatur masyarakatnya. Keikhlasan dari merekalah Indonesia menjadi satu.
Mereka merelakan wilayah dan sistem tatanan sosial yang telah dibangun kemudian
melebur dibawah pemerintahan sah bangsa Indonesia.
Sudah 66 tahun sejak Indonesia di proklamirkan
sebagai bangsa yang berdaulat tahun 1945 oleh Daeng Karno dan Petta Hatta.
Terhitung sejak waktu itulah wilayah kerajaan juga sudah tidak berlaku kecuali
daerah wilayah Yogyakarta yang tetap mempertahankan kebiasaan kerajaan dan
menjadikannya sebagai daerah istimewa (tentu dengan sejarahnya sendiri).
Wilayah kerajaan sebelumnya tentu memiliki
identitas diri sendiri. Mereka hadir dengan konsep dan nilai yang merupakan
local wisdom (kearifan lokal) yang diangkat menjadi kebiasaan. Bisa kita lihat
dari topologi suatu wilayah yang membedakan satu wilayah dengan lainnya. Dari
realitas inilah, pendiri bangsa dengan kesadaran penuh mengkonsepkan bangsa ini
dengan Binneka Tunggal Ika (berbeda-beda namun satu jua).
Dari nilai identitas itulah Indonesia hadir.
Ini berarti bahwa cerminan perilaku kita harus sesuai dengan identitas kita
masing-masing. Dengan kesadaran inilah, mestinya orang yang terlahir di daratan
Sulawesi Selatan tidak perlu malu menunjukkan cara berbicara mereka, yang
berasal dari tanah Maluku pun harus tetap berani menunjukkan kebiasaan dari
kampung halamannya, begitu pula dengan orang batak dengan intonasi berbicara
mereka dan tentu saja setiap wilayah harus bangga dengan kebiasaan yang
terbangun itu. Kebiasaan itu harus tetap di jaga ketika kita meninggalkan
daerah asal. Karena dengan berbeda itulah Indonesia tetap dikatakan bangsa berdaulat.
Tentu saja bukan hanya masyarakat yang harus
bangga dengan kebiasaan lokal, namun juga harus menjadi cerminan pembangunan
oleh pemerintah pusat maupun lokal. Peraturan perundang-undangan, peraturan
pemerintah dan peraturan daerah wajib hukumnya bercermin pada kearifan local. Nilai-nilai yang berlaku
pada masyarakat setempat harus diakomodir dalam peraturan tersebut. Pemerintah
tidak boleh melupakan asal muasal berdirinya bangsa ini.
Namun yang nampak hari ini menunjukkan
realitas yang berbeda. Kita tidur di atas emas dan mandi dengan minyak, semuanya
seakan tidak memberi manfaat banyak kepada bangsa ini karena lebih banyak
dinikmati oleh orang asing kalaupun ada warga Indonesia, maka mereka adalah
investor besar atau malah kaki tangan bangsa asing. Banyak perusahaan asing
yang menguras bumi ini, bahkan bukan hanya sumber alamnya namun juga tata
kehidupan sosial juga mereka rusak, maka tidaklah mengherankan banyak diantara
mereka berkonflik dengan masyarakat setempat. Aktifitas mereka tentu mendapat
legalitas dari pemerintah pusat maupun daerah melalui kontrak.
Banyak kebijakan pemerintah yang juga dianggap
tidak sesuai dengan identitas bangsa ini. Kebijakan pemerintah mengimpor garam
dan ikan, padahal secara geografis Indonesia memiliki laut lebih banyak
daripada daratan, mendatangkan beras padahal bangsa ini merupakan bangsa
agraris yang mayoritas penduduknya merupakan petani. Pun study banding
dilakukan ke luar negeri yang dimaksudkan untuk mengambil aturan kemudian
diimplimentasikan ke dalam negeri yang tentunya akan berbeda dengan kearifan
lokal kita.
Selain itu, ternyata perilaku pemerintah ini
juga tertular kepada pelaku-pelaku bisnis yang mementingkan materi. Dalam dunia
industri hiburan misalnya, Indonesia Idol merupakan hasil impor dari luar
negeri yang kemudian banyak digandrungi generasi muda, kuis yang memberi hadiah
juga idenya diambil dari luar. Dalam bidang perekonomian, bukannya
mengembangkan koperasi, yang merupakan tawaran konsep real bangsa ini, namun
lebih memilih membesarkan Carrefour, alfa dll yang merupakan produk asing dan
tentu saja membunuh masyarakat bawah.
Kalau sudah begini, masih pantaskah Indonesia
disebut sebagai bangsa berdaulat atau mungkin lebih pantas disebut sebagai
bangsa buruh. Hal yang mesti dilakukan adalah bercermin pada nilai-nilai nyata
kebiasaan bangsa yang ada pada setiap KAMPUNG HALAMAN. Ingat, dari setiap
kampung halaman inilah Indonesia ada, dari penggabungan kampung halaman inilah
Indonesia diproklamirkan, dari setiap jengkal centimeter kampung halaman inilah
Indonesia disebut sebagai bangsa berdaulat.
Kalau nilai kampung halaman ini telah
dilupakan dan ditinggalkan maka bangsa Indonesia hanyalah symbol belaka.
0 komentar: