tawuran mu bukan tawuran ku :)
Perkuliahan itu iramanya seperti biasa, ada
sesi ceramah dan tanya jawab. Hari itu (19/10/12) belajar Psikologi kepemimpinan
di asuh oleh salah satu Profesor dari universitas tertua di bumi nusantara ini.
Kesempatan teman bertanya sekaitan dengan pemilihan gubernur DKI Jakarta yang
berhasil memenangkan Joko Widodo sebagai pemegang jumlah suara terbanyak.
Setelah beberapa teman kelas memberi respon atas pertanyaan ini, saya pun ikut
tertarik karena juga ingin berpendapat atas beberapa penjelasan dari sang dosen.
Mengenai jawaban teman, aku berpendapat bahwa ada dua alasan kenapa mayoritas
warga ibu kota memilih Jokowi, pertama karena dia dalam kampanyenya menggunakan
kata “telah” BUKAN “akan”. Jokowi telah berbuat di kota sebelumnya yang di
anggap berhasil. Alasan yang kedua adalah Jokowi dan pasangannya, Ahok
menjanjikan “gerakan” BUKAN “program”. program biasanya hanya milik pemerintah
sedangkan gerakan akan melibatkan setiap elemen masyarakat dalam pembangunan.
Mengenai penjelasan dosen, saya
berpendapat bahwa bukan kali ini, hampir di setiap tempat bila berbicara
mengenai kepemimpinan maka akan bersinggungan dengan teori barat atau
pendekatan yang di pakai di negeri orang lain. Berusaha mengaitkan dengan
pilgub di Jakarta, Jokowi dalam memerintah Kota Solo, beliau menggunakan
pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai lokalitas masyarakat setempat dalam
hal ini jawa. Dengan pendekatan inilah beliau bisa memindahkan pedagang ke
tempat yang diinginkan. Dan tidak lah mengherankan kalau beliau juga berbeda
pandangan dengan gubernur jawa tengah pada rencana pembangunan pusat
pembelanjaan dimana berada bangunan peninggalan sejarah. Ini bisa di sebabkan
karena pandangan yang digunakan pun berbeda. Referensi kepemimpinan yang
berbeda akhirnya pun tindakannya juga akan berbeda pula.
Pekan berikutnya (23/10/12), saya berkesempatan
menghadiri seminar pendidikan psikologi pendidikan di salah satu universitas
negeri yang menghadirkan pembicara seorang psikolog yang merupakan tenaga
pendidik di universitas negeri tertua di Indonesia serta juga ikut terlibat
sebagai team pembuat kurikulum pendidikan nasional. Saya merasa beruntung
berada diantara peserta yang berkesempatan mendengar ceramah pemateri.
Sebetulnya saya tidak tertarik untuk terlibat pada sesi tanya jawab, namun
karena pemateri sering menyinggung daerah asal saya maka saya pun berinisiatif
bersuara. Tepatnya sepekan sebelum seminar berlangsung, memang terjadi tawuran
antara mahasiswa di kota Makassar. Pemateri berpendapat bahwa penyebab
tejadinya tawuran karena energy mahasiswa tidak terserap oleh kegiatan di
kampus (tugas dan organisasi internal). Beliau merekomendasikan dosen agar
memberi banyak tugas kepada mahasiswa sehingga waktunya bisa di pakai untuk
mencari bahan tugas. Setelah itu, dosen juga bisa merevisi dan meminta
mahasiswa untuk mengerjakan lagi. Ini dianggap akan memaksimalkan waktu
mahasiswa dengan kegiatan positif.
Menurut pandangan dangkal saya, itu mungkin
salah satu cara yang bisa di pakai. Namun izinkan saya berbagi ide, perlu
dipahami bahwa tipologi Sulawesi selatan terdapat berbagai macam suku, minimal
ada bugis, Makassar dan toraja. Di antara bugis pun berbeda satu sama lain
khususnya bugis dari tanah Luwu (palopo) dan dari Bone. Sejarah kerajaan mereka
memiliki nama yang besar di masanya. Ada masa dimana Bone, Luwu dan Makassar
berikrar bersaudara namun ada pula masa mereka berbeda pandangan. Tentu apa
yang terjadi pada saat itu merupakan strategi yang dilakukan demi pencapaian
tujuan kerajaan. Bisa saja karena motivasi perluasan daerah kekuasaan, atau
mungkin karena sumber daya alam yang ada. Namun apa pun yang telah terjadi, itu
semua terikat ruang, waktu dan tujuan yang berlaku pada saat itu. Ruang yaitu
berlaku pada wilayah kekuasaan kerajaan. Sedangkan waktu, perlu di ingat bahwa
Indonesia belum ada pada saat itu, masa dimana kerajaan berusaha mempertahankan
wilayah kekuasaannya. Dan tujuan, tentu setiap kerajaan memiliki motivasi
sendiri demi kejayaan masyarakatnya.
Kita pun tidak boleh melupakan “sureq la
galigo” yang sekarang masing-masing mengklaim milik daerah sendiri. Ada yang
melakukan penafsiran bahwa cerita itu di mulai dari tanah “sawerigading” Palopo,
namun ada pula yang menganggap bahwa “to manurung” pertama kali turun di bumi “arung
palakka” Bone. Begitu pun daerah lainnya yang berpendapat berbeda.
Perbedaan pendapat ini nyatanya di akomodir
oleh organisasi daerah (Organda) melalui pengkaderan setiap penerimaan
mahasiswa baru yang datang ke Makassar menempuh perkuliahan. Organda ini
merupakan corong pendapat itu yang akhirnya menjadi “ideologi” baru bagi mahasiswa
baru yang baru datang dari daerah. Demikian ide itu yang terus mengalir dari
satu generasi ke generasi selanjutnya.
Izinkan saya meminjam istilah saudara kita
dari bugis Bone yaitu “de gaga jago”. Istilah ini bukan hanya idiom semata
namun bisa menjadi falsafah. “De gaga jago” dalam bahasa Indonesia berarti
“tidak ada jagoan/hebat” bahwa mereka (yang datang dari Bone) lah jagoan,
merekalah yang hebat dan tidak ada yang hebat dibandingkan dengan mahasiswa
yang datang selain dari bugis Bone.
Oleh karena itu, menurut saya tawuran yang
sering terjadi di kota Makassar di hampir setiap awal jadwal perkuliahan
berakar dari perbedaan cerita masa lalu masing-masing daerah. Cerita masa lalu
yang perlu di runtut kembali dengan menemukan nilai lokalitas dari cerita
tersebut. Cerita itu merupakan nilai lokalitas yang patut kita banggakan. Saya
amat yakin nilai lokalitas kita begitu kaya untuk di aplikasikan dalam dunia
saat ini. Nilai lokalitas itu bisa membantu kita dalam menjalani hidup
sehari-hari.
Pandangan sederhanaku ini yang saya anggap
sebagai penyebab yang menjadi akar permasalahan tawuran diantara mahasiswa di
kota Makassar. Beberapa mahasiswa masih mengotak-kotakkan cerita lokalitas
masing-masing daerah kita. Padahal perbedaan lokalitas itu bisa dijadikan
penguat membangun identitas kita. Dan sekali lagi, terikat pada ruang, waktu
dan tujuan pada saat itu.
Kalau sejarah itu oleh mahasiswa
melembagakannya dalam Organda (organisasi daerah) maka bagaimana dengan usaha pemerintah?
Tidak ada jalan lain selain memasukkan nilai lokalitas tersebut dalam konsep
pendidikan pada perguruan tinggi maupun sekolah.
0 komentar: