Sabtu, 08 Desember 2012

tawuran mu bukan tawuran ku :)



Perkuliahan itu iramanya seperti biasa, ada sesi ceramah dan tanya jawab. Hari itu (19/10/12) belajar Psikologi kepemimpinan di asuh oleh salah satu Profesor dari universitas tertua di bumi nusantara ini. Kesempatan teman bertanya sekaitan dengan pemilihan gubernur DKI Jakarta yang berhasil memenangkan Joko Widodo sebagai pemegang jumlah suara terbanyak. Setelah beberapa teman kelas memberi respon atas pertanyaan ini, saya pun ikut tertarik karena juga ingin berpendapat atas beberapa penjelasan dari sang dosen. Mengenai jawaban teman, aku berpendapat bahwa ada dua alasan kenapa mayoritas warga ibu kota memilih Jokowi, pertama karena dia dalam kampanyenya menggunakan kata “telah” BUKAN “akan”. Jokowi telah berbuat di kota sebelumnya yang di anggap berhasil. Alasan yang kedua adalah Jokowi dan pasangannya, Ahok menjanjikan “gerakan” BUKAN “program”. program biasanya hanya milik pemerintah sedangkan gerakan akan melibatkan setiap elemen masyarakat dalam pembangunan. Mengenai  penjelasan dosen, saya berpendapat bahwa bukan kali ini, hampir di setiap tempat bila berbicara mengenai kepemimpinan maka akan bersinggungan dengan teori barat atau pendekatan yang di pakai di negeri orang lain. Berusaha mengaitkan dengan pilgub di Jakarta, Jokowi dalam memerintah Kota Solo, beliau menggunakan pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai lokalitas masyarakat setempat dalam hal ini jawa. Dengan pendekatan inilah beliau bisa memindahkan pedagang ke tempat yang diinginkan. Dan tidak lah mengherankan kalau beliau juga berbeda pandangan dengan gubernur jawa tengah pada rencana pembangunan pusat pembelanjaan dimana berada bangunan peninggalan sejarah. Ini bisa di sebabkan karena pandangan yang digunakan pun berbeda. Referensi kepemimpinan yang berbeda akhirnya pun tindakannya juga akan berbeda pula.
Pekan berikutnya (23/10/12), saya berkesempatan menghadiri seminar pendidikan psikologi pendidikan di salah satu universitas negeri yang menghadirkan pembicara seorang psikolog yang merupakan tenaga pendidik di universitas negeri tertua di Indonesia serta juga ikut terlibat sebagai team pembuat kurikulum pendidikan nasional. Saya merasa beruntung berada diantara peserta yang berkesempatan mendengar ceramah pemateri. Sebetulnya saya tidak tertarik untuk terlibat pada sesi tanya jawab, namun karena pemateri sering menyinggung daerah asal saya maka saya pun berinisiatif bersuara. Tepatnya sepekan sebelum seminar berlangsung, memang terjadi tawuran antara mahasiswa di kota Makassar. Pemateri berpendapat bahwa penyebab tejadinya tawuran karena energy mahasiswa tidak terserap oleh kegiatan di kampus (tugas dan organisasi internal). Beliau merekomendasikan dosen agar memberi banyak tugas kepada mahasiswa sehingga waktunya bisa di pakai untuk mencari bahan tugas. Setelah itu, dosen juga bisa merevisi dan meminta mahasiswa untuk mengerjakan lagi. Ini dianggap akan memaksimalkan waktu mahasiswa dengan kegiatan positif.
Menurut pandangan dangkal saya, itu mungkin salah satu cara yang bisa di pakai. Namun izinkan saya berbagi ide, perlu dipahami bahwa tipologi Sulawesi selatan terdapat berbagai macam suku, minimal ada bugis, Makassar dan toraja. Di antara bugis pun berbeda satu sama lain khususnya bugis dari tanah Luwu (palopo) dan dari Bone. Sejarah kerajaan mereka memiliki nama yang besar di masanya. Ada masa dimana Bone, Luwu dan Makassar berikrar bersaudara namun ada pula masa mereka berbeda pandangan. Tentu apa yang terjadi pada saat itu merupakan strategi yang dilakukan demi pencapaian tujuan kerajaan. Bisa saja karena motivasi perluasan daerah kekuasaan, atau mungkin karena sumber daya alam yang ada. Namun apa pun yang telah terjadi, itu semua terikat ruang, waktu dan tujuan yang berlaku pada saat itu. Ruang yaitu berlaku pada wilayah kekuasaan kerajaan. Sedangkan waktu, perlu di ingat bahwa Indonesia belum ada pada saat itu, masa dimana kerajaan berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya. Dan tujuan, tentu setiap kerajaan memiliki motivasi sendiri demi kejayaan masyarakatnya.
Kita pun tidak boleh melupakan “sureq la galigo” yang sekarang masing-masing mengklaim milik daerah sendiri. Ada yang melakukan penafsiran bahwa cerita itu di mulai dari tanah “sawerigading” Palopo, namun ada pula yang menganggap bahwa “to manurung” pertama kali turun di bumi “arung palakka” Bone. Begitu pun daerah lainnya yang berpendapat berbeda.
Perbedaan pendapat ini nyatanya di akomodir oleh organisasi daerah (Organda) melalui pengkaderan setiap penerimaan mahasiswa baru yang datang ke Makassar menempuh perkuliahan. Organda ini merupakan corong pendapat itu yang akhirnya menjadi “ideologi” baru bagi mahasiswa baru yang baru datang dari daerah. Demikian ide itu yang terus mengalir dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Izinkan saya meminjam istilah saudara kita dari bugis Bone yaitu “de gaga jago”. Istilah ini bukan hanya idiom semata namun bisa menjadi falsafah. “De gaga jago” dalam bahasa Indonesia berarti “tidak ada jagoan/hebat” bahwa mereka (yang datang dari Bone) lah jagoan, merekalah yang hebat dan tidak ada yang hebat dibandingkan dengan mahasiswa yang datang selain dari bugis Bone.
Oleh karena itu, menurut saya tawuran yang sering terjadi di kota Makassar di hampir setiap awal jadwal perkuliahan berakar dari perbedaan cerita masa lalu masing-masing daerah. Cerita masa lalu yang perlu di runtut kembali dengan menemukan nilai lokalitas dari cerita tersebut. Cerita itu merupakan nilai lokalitas yang patut kita banggakan. Saya amat yakin nilai lokalitas kita begitu kaya untuk di aplikasikan dalam dunia saat ini. Nilai lokalitas itu bisa membantu kita dalam menjalani hidup sehari-hari.
Pandangan sederhanaku ini yang saya anggap sebagai penyebab yang menjadi akar permasalahan tawuran diantara mahasiswa di kota Makassar. Beberapa mahasiswa masih mengotak-kotakkan cerita lokalitas masing-masing daerah kita. Padahal perbedaan lokalitas itu bisa dijadikan penguat membangun identitas kita. Dan sekali lagi, terikat pada ruang, waktu dan tujuan pada saat itu.
Kalau sejarah itu oleh mahasiswa melembagakannya dalam Organda (organisasi daerah) maka bagaimana dengan usaha pemerintah? Tidak ada jalan lain selain memasukkan nilai lokalitas tersebut dalam konsep pendidikan pada perguruan tinggi maupun sekolah.

0 komentar: