Selayak "Green Psychology"
Empat
tahun yang lalu ketika masih berstatus mahasiswa pada kampus biru “Makassar”
sesuai dengan program akademik mengharuskan mahasiswa untuk melakukan Kuliah
Kerja Nyata (KKN). Kuliah secara nyata bersentuhan dengan masyarakat, saya mendapat
lokasi belajar di daerah pinggiran Kabupaten Wajo berbatasan dengan kabupaten
Sidrap menyisahkan banyak cerita. Mulai dari perjalanan yang agak kacau dengan
lubang di mana-mana sampai pada kondisi rumah yang di tempati tak memiliki
toilet. Penempatan mahasiswa hanya di desa yang kemudian di bagi ke beberapa
dusun. Saya mendapatkan dusun yang paling ujung dari desa tersebut dan berbatasan
langsung dengan danau Tempe. Sebagai seorang yang mengkoordinir kegiatan KKN
ini mengharuskan saya untuk selalu mobile antar dusun melihat realisasi program
kerja atau hanya sekedar say hallo. seperti KKN sebelumnya, mata kuliah
yang telah banyak menghasilkan alumni ini, program kerja selalu diarahkan pada pengembangan
pembangunan fisik lokasi. Serupa dan tetap sama saja, begitupula yang kami
lakukan, pengecetan pagar kantor desa, tapal batas desa, pembuatan gapura
dusun, pengecetan masjid, dan lainnya.
Bagi
saya pribadi, kehidupan masyarakat di lokasi ini begitu komplit dan kompleks.
Komplit karena lokasi ini di tinggali oleh penduduk desa yang rajin, teramat
rajin, hingga di pagi hari bahkan sebagian sebelum matahari terbit, mereka
telah keluar rumah menuju sawah. Dusun yang saya tinggali begitu sepi di pagi
hari dan akan sangat begitu ramai menjelang maghrib. Semangat kerja keras dari
warga ini juga didukung oleh tanah di lokasi ini yang begitu subur. Lahan yang
ditanami jagung juga bisa ditanami cabe di antara pohon jagung tersebut. Lahan
mereka tidak pernah nganggur. Tiap tahun selalu berporduksi dengan
berbagai macam tanaman sayuran.
Apa
yang membuatnya demikian kompleks. Yaa, kepercayaan agama mereka yang masih
mempercayai selain Wujud Esa Tuhan. Tepatnya di dusun saya, beberapa lokasi
sesajen diperuntukkan untuk sesuatu yang gaib yang dianggap penguasa bumi. Namun
ada yang unik dari cara yang mereka lakukan, di tempat lain biasanya akan
mendatangi kuburan atau pohon besar. Namun di sini, selain kuburan dan pohon,
para penyembah ini membawa karikatur rumah dan boneka. Keduanya ditempatkan
pada lokasi yang memang telah ditentukan (sekitar kuburan dan lahan sawah).
Mereka menganggap karikatur rumah itu akan benar-benar bisa nyata dimiliki
kelak. Olehnya tidaklah mengherankan kalau karikatur rumah itu kelihatan mewah.
Sedang boneka yang dibawa, bisa berupa buatan sendiri atau yang dibeli dari
toko. Mereka merefleksikan boneka tersebut adalah mereka.
Hal
lain yang nampak menjadi unik adalah pemuda di sana yang banyak memiliki moge
(motor gede). Melihat kondisi jalanan mestinya tidak cocok dengan
motor sebesar itu. Tapi, dari mana mereka membelinya. Mereka, para pemuda yang
tamat SMA pun tidak tapi ternyata punya jiwa bisnis luar biasa. Mereka itulah
yang sering menjumpai layar hape teman-teman dalam bentuk minta pulsa atau
menang undian. Profesi dikalangan mereka sebut sebagai halo-halo, penyebutan
ini karena setelah mendapat balasan dari calon korban, mereka kemudian
berbicara (halo-halo) dengan kliennya.
Pengalaman
KKN ini terasa ter-recall kembali karena hampir saja mendapatkan
pengalaman yang sama. Bersama Skholatanpabatas pengalaman baru dimulai. Filed
work dengan peserta dari berbagai kampus di Kota Makassar baik PTN maupun
PTS menjadikan moment ini demikian kaya dengan beragama latar belakang
pendidikan. Diantara mereka terdapat teman-teman relawan Skholatanpabatas yang
telah terlibat dengan Skhola serta mereka yang belum pernah terlibat dengan
lembaga ini.
Perjalanan
dari kota Makassar menuju lokasi kegiatan sekitar 1 jam 20 menit. Kelurahan Langkeang,
Maros terletak sekitar 20 menit dari arah barat ibu kota kabupaten Maros.
Sepanjang perjalanan, mata akan di’hadiahi’ dengan pandangan sawah yang masih
hijau atau beberapa petani yang masih menanam padi. Beberapa bukit batu
diantara sawah juga nampak mempercantik pemandangan. Rumah panggung khas Bugis
mempertegas bahwa kita sedang berada di wilayah masyarakat Bugis.
Kebiasaan
mahasiswa yang tinggal di kota Makassar tentu saja berbeda dengan pola hidup
warga yang ada di desa. Kebiasaan sehari-hari tentu lebih memudahkan dan
menyenangkan bagi mahasiswa yang tinggal di kontrakan atau bersama orang tua
dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap dibanding kondisi yang ada di
Langkeang. Kebiasaan yang cenderung instan dengan kehidupan sosial yang mengarah
pada pemenuhan akan diri sendiri, tentu berbeda jauh dengan apa yang terjadi di
Langkeang. Perkampungan ini masih memegang nilai-nilai sosial dalam hidup
berdampingan dengan tetangga. Hal yang berbeda pada kehidupan perkotaan, dimana
toleransi dan menjadi bagian satu sama lain merupakan nilai hidup yang sedikit
demi sedikit tergeser.
Canda
dan gurau masih bisa kita tatap pada sumur bersama yang dimanfaatkan oleh
beberapa warga, seakan sedang melingkar bersidang tentang kerasnya hidup dewasa
ini. Mata kita masih mampu melihat deretan masyarakat yang sedang tertawa
dengan riuh di sepanjang aliran sungai. Gotong royong masih mampu kita rasakan
di antara warga Langkeang. Demikian pula kita bisa melihat kebiasaan pada pemenuhan sehari-hari warga dengan
memanfaatkan lingkungan sekitar. Beternak, berkebun, bertani, berdagang di
pasar tradisional, memanfaatkan pangan lokal di lingkungan sekitar untuk
makanan sehari-hari serta sikap hidup yang bersahaja inilah menjadikan
Langkeang sebagai potensi belajar bagi masyarakat/mahasiswa perkotaan pada hari
ini dan kelak hari. Langkeang siap menjadi layaknya skhola kehidupan
yang sesungguhnya.
Cerminan
realitas masyarakat Langkeang ini dikemas dengan konsep live in dimana
peserta tinggal bersama di rumah warga selama 3 hari menjadikan moment yang
akan sulit terlupakan. Peserta akan mendapatkan orang tua angkat selama berada
di sana sesuai dengan rumah yang ditinggali. Hidup bersama orang tua angkat
dengan mengikuti aktifitas kesehariannya menjadikan pelajaran hidup yang
menyenangkan. Meet and talk adalah saat peserta mampu bercerita banyak
dengan orang tua angkat mereka. Berbagi kehidupan dalam sebuah cerita yang
beragam akan memperkaya pengayaan pengetahuan para peserta.
Melihat
potensi perkampungan merupakan hal yang juga penting untuk dilakukan sebagai
bahagian dari proses pembelajaran. Konsep field work menjadikan
keinginan ini akan lebih mudah tercapai. Pemetaan potensi Langkeang berdasar
pada pendekatan Education for Sustainable Development (Pendidikan Untuk Pembangunana
Berkelanjutan) memberi kesempatan peserta untuk mengembangkan metode dengan
hasil maksimal. Pemetaan wilayah dengan melihat beberapa isu yang ada di
sekitar Langkeang berdasar pada kebutuhan atau ketertarikan dari peserta. Hal
ini bisa kita lihat pada isu seperti sampah, saluran air, MCK, ternak, mata
pencaharian, pemberdayaan pemuda, dan pelayanan kesehatan.
Beragam
isu yang hendak diketahui merupakan kesepakatan dari setiap peserta sebagai
hasil brainstorming. Dari isu tersebut maka peserta akan dikelompokkan
berdasar pada ketertarikan peserta akan isu yang hendak diketahui. Penggalian
informasi dilakukan dengan metode observasi dan wawancara. Isu sosial ini
merupakan guide secara tidak langsung bagi peserta untuk mencari
informasi baik dengan observasi maupun wawancara. Keramahan masyarakat
Langkeang akan memudahkan peserta dalam menggunakan teknik yang akan dilakukan
dalam proses OW tersebut. Sebagai misal, peserta menggunakan tape recording,
rekaman video, atau hanya sekedar bersenda gurau saat warga sedang melakukan
aktifitas.
Education
for Sustainable Development (ESD) memungkinkan peserta untuk belajar
melihat bagaimana realitas sosial, lingkungan dan ekonomi yang ada di sekitar
perkampungan. Beragam isu di atas merupakan hasil turunan dari ketiga aspek
sosial, lingkungan dan ekonomi. Arah dari OW juga tidak akan lepas dari
penggalian akan ketiga unsur tersebut. Sebagai contoh dalam melihat
pemberdayaan pemuda yang ada di Langkeang. Hal yang bisa dilihat dari aspek
sosial adalah bagaimana pemuda memanfaatkan waktunya, apakah dengan menjadi
petani atau bekerja pada perusahaan terdekat. Kebiasaan merantau juga hal yang
menarik untuk dicermati. Apakah mereka para pemuda mampu bergaul dengan baik
dengan lingkungan sekitar (pemuka desa dan agama), ataupun hal yang lain yang
merasa dibutuhkan untuk melihat pemberdayaan pemuda Langkeang. Beranjak dari
realitas keberadaan pemuda tersebut, apa yang memungkinkan dilakukan dan
dikembangkan oleh pemuda untuk memaksimalkan potensi diri dan desa. Pada aspek
ekonomi, dari kegiatan mata pencarian yang sekarang dilakukan, yang umumnya
bertani dan bekerja pada perusahaan, apakah telah mampu memenuhi kebutuhannya
atau ada alternative lain yang bisa dilakukan. Pertimbangan aspek lingkungan tentu
juga hal yang harus dilihat, keterlibatan pemuda bekerja pada perusahaan
terdekat, bisa saja telah mampu menambah penghasilan, namun apakah perusahaan
tersebut mampu bertahan lama dan tetap memakai jasa pemuda lokal, ataukah hanya
akan meninggalkan kerusakan lingkungan kampung di kemudian hari. Tentu saja ini
akan berimbas pada mata pencarian yang lain seperti lahan pertanian.
Pada
isu pelayanan kesehatan, bagaimana pemanfaatan lingkungan yang ada di sekitar
rumah, berbagai macam tumbuhan mungkin bisa dimanfaatkan sebagai bahan
pengobatan. Dengan adanya pengobatan tradisional ini maka akan mengurangi
pengurangan (ekonomi) warga karena tidak perlu lagi ke puskesmas atau dengan
adanya tumbuhan tradisional tersebut mungkin bisa dijadikan sebagai tambahan
penghasilan dengan memberi nilai tambah pada tumbuhan tersebut. Keberadaan
dukun (sandro) yang masih dipercayai oleh masyarakat akan berdampak pada
kehidupan secara menyeluruh. Usaha memaksimalkan posyandu sebagai bentuk
pelayanan kesehatan dari pemerintah, serta kios yang ada di sekitar yang juga
menjual obat menjadi pertimbangan sosial dalam melihat pelayanan kesehatan.
Begitupula
kita bisa melihat isu yang lain dengan tetap berpatok pada ketiga aspek di atas
(lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya). Dengan menggunakan pendekatan ESD ini
maka memungkinkan peserta untuk melihat sebuah fenomena sosial secara
terperinci dan menyeluruh. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang
tak bisa terpisahkan. Memahami secara berimbang realitas sosial yang terjadi
dan mampu berfikir secara holistic dalam merancang masa depan yang mampu
berkelanjutan.
Hasil
dari pencarian informasi di lapangan yang berdasar pada beragam isu tersebut, kemudian
dipresentasikan. Beragam cara yang dilakukan dalam mempresentasikan hasil
kajian lapangan. Cara yang bisa dilakukan dengan memakai metode mind mapping,
short movie, slide, drama, gambar dan lainnya. Agar semua peserta dalam
kelompok mengetahui semua hasil kerja lapangan maka presenter dari perwakilan
masing-masing kelompok dipilih oleh fasilitator. Pemilihan perwakilan kelompok
juga dilakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Pemilihan bisa dilakukan
dengan mengetahui siapa yang paling muda di antara teman kelompok, jempol
tangan paling besar, atau petunjuk lainnya. Hal ini dilakukan agar hasil informasi
lapangan yang dikemas dalam bentuk presentasi tersebut diharapkan dipahami merata
oleh semua anggota kelompok.
Dari
program ini tentu saja diharapkan peserta akan berfikir dan tergerak untuk
berbuat lebih bermanfaat bagi lingkungan dan sesama. Dalam melihat sebuah
fenomena akan selalu mempertimbangkan sebab akibat dari beragam aspek hingga
pada penemuan titik keseimbangan yang akan berdampak pada keberlangsungan.
Skholatanpabatas saat Di Langkeang, Maros#
0 komentar: