Senin, 09 Desember 2013

Selayak "Green Psychology"



Empat tahun yang lalu ketika masih berstatus mahasiswa pada kampus biru “Makassar” sesuai dengan program akademik mengharuskan mahasiswa untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kuliah secara nyata bersentuhan dengan masyarakat, saya mendapat lokasi belajar di daerah pinggiran Kabupaten Wajo berbatasan dengan kabupaten Sidrap menyisahkan banyak cerita. Mulai dari perjalanan yang agak kacau dengan lubang di mana-mana sampai pada kondisi rumah yang di tempati tak memiliki toilet. Penempatan mahasiswa hanya di desa yang kemudian di bagi ke beberapa dusun. Saya mendapatkan dusun yang paling ujung dari desa tersebut dan berbatasan langsung dengan danau Tempe. Sebagai seorang yang mengkoordinir kegiatan KKN ini mengharuskan saya untuk selalu mobile antar dusun melihat realisasi program kerja atau hanya sekedar say hallo. seperti KKN sebelumnya, mata kuliah yang telah banyak menghasilkan alumni ini, program kerja selalu diarahkan pada pengembangan pembangunan fisik lokasi. Serupa dan tetap sama saja, begitupula yang kami lakukan, pengecetan pagar kantor desa, tapal batas desa, pembuatan gapura dusun, pengecetan masjid, dan lainnya.
Bagi saya pribadi, kehidupan masyarakat di lokasi ini begitu komplit dan kompleks. Komplit karena lokasi ini di tinggali oleh penduduk desa yang rajin, teramat rajin, hingga di pagi hari bahkan sebagian sebelum matahari terbit, mereka telah keluar rumah menuju sawah. Dusun yang saya tinggali begitu sepi di pagi hari dan akan sangat begitu ramai menjelang maghrib. Semangat kerja keras dari warga ini juga didukung oleh tanah di lokasi ini yang begitu subur. Lahan yang ditanami jagung juga bisa ditanami cabe di antara pohon jagung tersebut. Lahan mereka tidak pernah nganggur. Tiap tahun selalu berporduksi dengan berbagai macam tanaman sayuran.
Apa yang membuatnya demikian kompleks. Yaa, kepercayaan agama mereka yang masih mempercayai selain Wujud Esa Tuhan. Tepatnya di dusun saya, beberapa lokasi sesajen diperuntukkan untuk sesuatu yang gaib yang dianggap penguasa bumi. Namun ada yang unik dari cara yang mereka lakukan, di tempat lain biasanya akan mendatangi kuburan atau pohon besar. Namun di sini, selain kuburan dan pohon, para penyembah ini membawa karikatur rumah dan boneka. Keduanya ditempatkan pada lokasi yang memang telah ditentukan (sekitar kuburan dan lahan sawah). Mereka menganggap karikatur rumah itu akan benar-benar bisa nyata dimiliki kelak. Olehnya tidaklah mengherankan kalau karikatur rumah itu kelihatan mewah. Sedang boneka yang dibawa, bisa berupa buatan sendiri atau yang dibeli dari toko. Mereka merefleksikan boneka tersebut adalah mereka.
Hal lain yang nampak menjadi unik adalah pemuda di sana yang banyak memiliki moge (motor gede). Melihat kondisi jalanan mestinya tidak cocok dengan motor sebesar itu. Tapi, dari mana mereka membelinya. Mereka, para pemuda yang tamat SMA pun tidak tapi ternyata punya jiwa bisnis luar biasa. Mereka itulah yang sering menjumpai layar hape teman-teman dalam bentuk minta pulsa atau menang undian. Profesi dikalangan mereka sebut sebagai halo-halo, penyebutan ini karena setelah mendapat balasan dari calon korban, mereka kemudian berbicara (halo-halo) dengan kliennya.
Pengalaman KKN ini terasa ter-recall kembali karena hampir saja mendapatkan pengalaman yang sama. Bersama Skholatanpabatas pengalaman baru dimulai. Filed work dengan peserta dari berbagai kampus di Kota Makassar baik PTN maupun PTS menjadikan moment ini demikian kaya dengan beragama latar belakang pendidikan. Diantara mereka terdapat teman-teman relawan Skholatanpabatas yang telah terlibat dengan Skhola serta mereka yang belum pernah terlibat dengan lembaga ini.
Perjalanan dari kota Makassar menuju lokasi kegiatan sekitar 1 jam 20 menit. Kelurahan Langkeang, Maros terletak sekitar 20 menit dari arah barat ibu kota kabupaten Maros. Sepanjang perjalanan, mata akan di’hadiahi’ dengan pandangan sawah yang masih hijau atau beberapa petani yang masih menanam padi. Beberapa bukit batu diantara sawah juga nampak mempercantik pemandangan. Rumah panggung khas Bugis mempertegas bahwa kita sedang berada di wilayah masyarakat Bugis.
Kebiasaan mahasiswa yang tinggal di kota Makassar tentu saja berbeda dengan pola hidup warga yang ada di desa. Kebiasaan sehari-hari tentu lebih memudahkan dan menyenangkan bagi mahasiswa yang tinggal di kontrakan atau bersama orang tua dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap dibanding kondisi yang ada di Langkeang. Kebiasaan yang cenderung instan dengan kehidupan sosial yang mengarah pada pemenuhan akan diri sendiri, tentu berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Langkeang. Perkampungan ini masih memegang nilai-nilai sosial dalam hidup berdampingan dengan tetangga. Hal yang berbeda pada kehidupan perkotaan, dimana toleransi dan menjadi bagian satu sama lain merupakan nilai hidup yang sedikit demi sedikit tergeser.
Canda dan gurau masih bisa kita tatap pada sumur bersama yang dimanfaatkan oleh beberapa warga, seakan sedang melingkar bersidang tentang kerasnya hidup dewasa ini. Mata kita masih mampu melihat deretan masyarakat yang sedang tertawa dengan riuh di sepanjang aliran sungai. Gotong royong masih mampu kita rasakan di antara warga Langkeang. Demikian pula kita bisa melihat kebiasaan pada  pemenuhan sehari-hari warga dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Beternak, berkebun, bertani, berdagang di pasar tradisional, memanfaatkan pangan lokal di lingkungan sekitar untuk makanan sehari-hari serta sikap hidup yang bersahaja inilah menjadikan Langkeang sebagai potensi belajar bagi masyarakat/mahasiswa perkotaan pada hari ini dan kelak hari. Langkeang siap menjadi layaknya skhola kehidupan yang sesungguhnya.
Cerminan realitas masyarakat Langkeang ini dikemas dengan konsep live in dimana peserta tinggal bersama di rumah warga selama 3 hari menjadikan moment yang akan sulit terlupakan. Peserta akan mendapatkan orang tua angkat selama berada di sana sesuai dengan rumah yang ditinggali. Hidup bersama orang tua angkat dengan mengikuti aktifitas kesehariannya menjadikan pelajaran hidup yang menyenangkan. Meet and talk adalah saat peserta mampu bercerita banyak dengan orang tua angkat mereka. Berbagi kehidupan dalam sebuah cerita yang beragam akan memperkaya pengayaan pengetahuan para peserta.
Melihat potensi perkampungan merupakan hal yang juga penting untuk dilakukan sebagai bahagian dari proses pembelajaran. Konsep field work menjadikan keinginan ini akan lebih mudah tercapai. Pemetaan potensi Langkeang berdasar pada pendekatan Education for Sustainable Development (Pendidikan Untuk Pembangunana Berkelanjutan) memberi kesempatan peserta untuk mengembangkan metode dengan hasil maksimal. Pemetaan wilayah dengan melihat beberapa isu yang ada di sekitar Langkeang berdasar pada kebutuhan atau ketertarikan dari peserta. Hal ini bisa kita lihat pada isu seperti sampah, saluran air, MCK, ternak, mata pencaharian, pemberdayaan pemuda, dan pelayanan kesehatan.
Beragam isu yang hendak diketahui merupakan kesepakatan dari setiap peserta sebagai hasil brainstorming. Dari isu tersebut maka peserta akan dikelompokkan berdasar pada ketertarikan peserta akan isu yang hendak diketahui. Penggalian informasi dilakukan dengan metode observasi dan wawancara. Isu sosial ini merupakan guide secara tidak langsung bagi peserta untuk mencari informasi baik dengan observasi maupun wawancara. Keramahan masyarakat Langkeang akan memudahkan peserta dalam menggunakan teknik yang akan dilakukan dalam proses OW tersebut. Sebagai misal, peserta menggunakan tape recording, rekaman video, atau hanya sekedar bersenda gurau saat warga sedang melakukan aktifitas.
Education for Sustainable Development (ESD) memungkinkan peserta untuk belajar melihat bagaimana realitas sosial, lingkungan dan ekonomi yang ada di sekitar perkampungan. Beragam isu di atas merupakan hasil turunan dari ketiga aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Arah dari OW juga tidak akan lepas dari penggalian akan ketiga unsur tersebut. Sebagai contoh dalam melihat pemberdayaan pemuda yang ada di Langkeang. Hal yang bisa dilihat dari aspek sosial adalah bagaimana pemuda memanfaatkan waktunya, apakah dengan menjadi petani atau bekerja pada perusahaan terdekat. Kebiasaan merantau juga hal yang menarik untuk dicermati. Apakah mereka para pemuda mampu bergaul dengan baik dengan lingkungan sekitar (pemuka desa dan agama), ataupun hal yang lain yang merasa dibutuhkan untuk melihat pemberdayaan pemuda Langkeang. Beranjak dari realitas keberadaan pemuda tersebut, apa yang memungkinkan dilakukan dan dikembangkan oleh pemuda untuk memaksimalkan potensi diri dan desa. Pada aspek ekonomi, dari kegiatan mata pencarian yang sekarang dilakukan, yang umumnya bertani dan bekerja pada perusahaan, apakah telah mampu memenuhi kebutuhannya atau ada alternative lain yang bisa dilakukan. Pertimbangan aspek lingkungan tentu juga hal yang harus dilihat, keterlibatan pemuda bekerja pada perusahaan terdekat, bisa saja telah mampu menambah penghasilan, namun apakah perusahaan tersebut mampu bertahan lama dan tetap memakai jasa pemuda lokal, ataukah hanya akan meninggalkan kerusakan lingkungan kampung di kemudian hari. Tentu saja ini akan berimbas pada mata pencarian yang lain seperti lahan pertanian.
Pada isu pelayanan kesehatan, bagaimana pemanfaatan lingkungan yang ada di sekitar rumah, berbagai macam tumbuhan mungkin bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan. Dengan adanya pengobatan tradisional ini maka akan mengurangi pengurangan (ekonomi) warga karena tidak perlu lagi ke puskesmas atau dengan adanya tumbuhan tradisional tersebut mungkin bisa dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan memberi nilai tambah pada tumbuhan tersebut. Keberadaan dukun (sandro) yang masih dipercayai oleh masyarakat akan berdampak pada kehidupan secara menyeluruh. Usaha memaksimalkan posyandu sebagai bentuk pelayanan kesehatan dari pemerintah, serta kios yang ada di sekitar yang juga menjual obat menjadi pertimbangan sosial dalam melihat pelayanan kesehatan.
Begitupula kita bisa melihat isu yang lain dengan tetap berpatok pada ketiga aspek di atas (lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya). Dengan menggunakan pendekatan ESD ini maka memungkinkan peserta untuk melihat sebuah fenomena sosial secara terperinci dan menyeluruh. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Memahami secara berimbang realitas sosial yang terjadi dan mampu berfikir secara holistic dalam merancang masa depan yang mampu berkelanjutan.
Hasil dari pencarian informasi di lapangan yang berdasar pada beragam isu tersebut, kemudian dipresentasikan. Beragam cara yang dilakukan dalam mempresentasikan hasil kajian lapangan. Cara yang bisa dilakukan dengan memakai metode mind mapping, short movie, slide, drama, gambar dan lainnya. Agar semua peserta dalam kelompok mengetahui semua hasil kerja lapangan maka presenter dari perwakilan masing-masing kelompok dipilih oleh fasilitator. Pemilihan perwakilan kelompok juga dilakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Pemilihan bisa dilakukan dengan mengetahui siapa yang paling muda di antara teman kelompok, jempol tangan paling besar, atau petunjuk lainnya. Hal ini dilakukan agar hasil informasi lapangan yang dikemas dalam bentuk presentasi tersebut diharapkan dipahami merata oleh semua anggota kelompok.
Dari program ini tentu saja diharapkan peserta akan berfikir dan tergerak untuk berbuat lebih bermanfaat bagi lingkungan dan sesama. Dalam melihat sebuah fenomena akan selalu mempertimbangkan sebab akibat dari beragam aspek hingga pada penemuan titik keseimbangan yang akan berdampak pada keberlangsungan.
Skholatanpabatas saat Di Langkeang, Maros#






0 komentar: