Kamis, 25 Juni 2015

Perjalanan Berilmu Empat Sekawan

Pallawangeng, demikian kata yang merujuk lokasi dimana Ponggawa dan teman-temannya berada saat ini. Saat dimana senja telah berlabuh, matahari telah benar-benar berpulang meninggalkan siang menuju malam, tak ada lampu jalan dan rumah warga, yaa mereka sedang tidak berada di perkampungan warga. Yang ada hanya mereka berempat dengan fisik yang sedang ngos-ngosan. Hanya cita-cita akan berada di tempat dengan suasana yang masih alami yang masih menguatkan kaki mereka melangkah. Air terjun Mittie dan Goa Mampu menjadi impian bersama mereka. Air terjun Mittie yang konon katanya membawa khasiat bagi mereka yang masih jomblo atau menambah rezeki bagi mereka yang kesusahan. Goa Mampu yang dipercaya oleh warga setempat tercipta dari manusia yang menjadi batu karena dosa salah seorang warga yang berbicara dengan seekor anjing. Keduanya berada di satu lokasi yang sama di Kacamatan Uloe, Kabupaten Bone.
Perjalanan nekat oleh empat sekawan masa SMA ini bermula saat pertemuan di malam reuni sekolah. Cerita Goa Mampu pernah mereka dengar saat masih duduk di bangku SMP pada mata pelajaran bahasa daerah. Sejak dulu sebenarnya mereka berkeinginan mendatangi tempat itu tapi belum pernah terwujud sampai mereka menyelesaikan SMA dan meninggalkan kampung mereka, Kabupaten Sidrap. Mereka harus menempuh sekitar 110 KM melewati jalan raya dan terkadang gunung dan sawah sebagai jalan alternative agar lebih dekat. Mereka memang sengaja memilih berjalan kaki. Perjalanan itu melewati kabupaten Sidrap menuju kabupaten Soppeng sebelum sampai kecamatan Uloe, Kabupaten Bone.
“Kita harus berada di sana liburan kali ini” ucap Ponggawa berusaha untuk memprovokasi teman-temannya.
“Saya mau sekali tapi saya harus balik cepat ke Makassar kawan, kan saya sementara koas di rumah sakit, tidak bisa absen sehari saja nanti berpengaruh jelek pada nilai ku” ungkap Jannah, mahasiswa fakultas kedokteran, yang mengemukakan alasannya.
Jannah dikenal siswa cerdas saat duduk di bangku SMA. Juara kelas tidak pernah lepas dari tangannya sejak kelas 1 sampai 3 SMA. Dia pun sempat mewakili kabupaten Sidrap di tingkat provinsi Sulawesi Selatan pada lomba debat bahasa Inggris, tapi sayang tidak mendapatkan juara. Jannah telah menyelesaikan strata satu pada fakultas kedokteran universitas swasta terkemuka di Kota Makassar dan sedang menempuh koas pada stase Ilmu Kesehatan Masyarakat yang merupakan tingkat II dalam menyelesaikan profesi dokternya.
“Agak sulit bagi saya karena kan harus ziarah kuburan dulu” Mario memberi alasan kemungkinan tidak bisa ikut.
Kebiasaan masyarakat Bugis adalah menziarah kuburan keluarga menjelang ramadhan atau setelah ramadhan. Mario baru pulang kampung menjelang idul fitri sehingga memilih untuk pergi ziarah kuburan ibunya setelah salat idul fitri. Sebenarnya dia merencanakan pergi sesaat setelah solat id namun dia juga harus bersilaturahmi ke rumah keluarga.
“Aahh itu soal gampang Jan, kan kita cuman sehari di sana, pergi pagi tiba sore, tapi gimana dengan Rio yaa? “kelihatannya Ade begitu bersemangat.
“Kita pergi abis Mario ziarah kubur gimana” Ponggawa berusaha memberi solusi.
Ketiga temannya mengangguk bertanda setuju. Begitu lah mereka sedang melakukan layaknya tudang sipulung mendiskusikan rencana perjalanan mereka. Keempatnya bertemu di acara reuni SMA yang selalu dilaksanakan oleh pengurus alumni setelah ramadhan atau beberapa hari setelah pelaksanaan solat idul fitri.
Mereka berempat begitu tampak berbeda. Mereka kini sangat jarang bertemu secara langsung dan komunikasi lagi. Sekitar 5 tahun yang lalu terakhir mereka begitu dekat, bersama-sama dalam organisasi Pramuka. Kini, mereka bertemu sekali dalam setahun, itu pun kalau sempat menghadiri acara reuni di sekolah. Kecuali Ponggawa yang tidak melanjutkan kuliah di kota Makassar, dia memilih menikah dan menjadi petani. Baginya mengerjakan sawah adalah pekerjaan leluhur bagi orang Bugis. Masyarakat Bugis begitu menghormati nasi sehingga orang tua selalu memarahi anak mereka bila menyisahkan nasi saat selesai makan. Bagi masyarakat Bugis, padi adalah jelmaan anak dewa yang dituliskan dalam kisah la galigo. Anak pertama yang meninggal dari penghuni pertama kehidupan dunia ini dimana kuburannya tiba-tiba berubah menjadi sawah yang ditumbuhi padi. Sedangkan Jannah sejak kecil memang bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Mantan ketua Pramuka SMA itu akan memilih menjadi penjahit seandainya tidak lulus di fakultas kedokteran melanjutkan profesi dari ibunya.
Sementara Mario yang sekarang ini sedang berusaha menyelesaikan penelitian skripsinya yang telah di program selama 3 semester pada fakultas hukum di universitas negeri di kota makassar, saat ditanya kenapa lama sekali menyelesaikan penelitiannya, Mario punya alasan sendiri. Baginya penelitian adalah karya ilmiah yang harus dikerjakan secara maksimal agar nantinya tidak hanya menjadi pajangan di sudut perpustakaan kampus. Kedengaran idealis tapi tidak rasional karena tepatnya Mario lebih menyibukkan diri dengan kamera. Benar saja perjalanan ini, dia lah yang menjadi “tukang” foto-foto.
Sesal datang diantara keputusasaannya, kenapa harus berada di sini, bukankah Makassar akan lebih nyaman.
“Aduh seandainya saya tidak ikut” ucap Ade memilih mengungkapkan perasaannya.
“Seandainya saya tidak masiri, saya sudah pasti memilih pulang, menunggu angkot menuju kabupaten Sidrap” gumamnya lagi.
Siri lah yang menguatkan Ade masih bisa melangkah. Diam-diam dia masiri pada Jannah yang masih kuat kelihatan masih tegak dengan ransel yang ada di pundaknya. Yaa, alumni S1 jurusan biologi pada universitas negeri di kota Makassar ini merasa malu sebab nafas teman perempuannya itu masih saja joss.
“Tenang saja De, ini uda dekat, sabar sedikit sappo (sapaan teman seumur)” Ponggawa berusaha memberi semangat.
“Dekat dari mana? Ini GPS saja tidak temukan, not found” Ade membalas merasa tidak yakin
“Iya sappo, memang lokasi ini belum di daftar jadi belum ditemukan, nanti kamu yang daftar yaa, hehe” Mario menambahkan sambil tetap memotret dari kamera yang dikalungkan pada lehernya.
“Oke mari kita lanjutkan perjalanan lagi, warga sebelumnya kan bilang uda dekat setelah bukit di depan itu” ungkap Jannah sambil mengambil langkah pertama.
Mereka berjalan lagi, lalu keringat kembali mengering saat berjalan di bawah pohon-pohon lebat di atas bukit. Maghrib telah mengantar mereka mengucap syukur atas pohon yang masih terjaga. Ada gercikan air sungai berbatu yang dilalui manambah syahdunya maghrib saat itu. Ada pohon rambutan, sirsak dan mangga di sana. Kesemuanya sepertinya tidak bertuan, tumbuh karena proses alami. Ketiganya memang bisa tumbuh bila ketersediaan air yang memadai.
“Sappo, coba kita fikirkan keberadaan satu pohon rambutan ini. Tiap-tiap pohon buahnya berlainan menurut jenisnya, ada yang manis dan ada yang tidak manis. Ada yang berkulit merah, ada yang berkulit kuning. Padahal semuanya memperoleh air yang sama dan tumbuh di atas tanah yang sama. Kenapa coba?” Ade memancing teman-temannya untuk berfikir.
“Ahh ada-ada saja kamu De, kamu tidak baca itu, orang ngos-ngosan dilarang berfikir, melainkan melangkah saja, hehe“ Ponggawa menghela sambil mengambil satu buah rambutan.
“Bilang saja kamu malas berfikir Ponggawa, hahaha” Mario mencandai temannya itu, dia tahu temannya itu memang bukan tipe pemikir melainkan pekerja.
“Karena perbedaan jenis terkandung di dalam inti sel biji-biji rambutan itu” Jannah spontan menjawab.
Ade mengangguk membenarkan jawaban temannya itu, dia memang mengakui Jannah sejak di sekolah.
“Andai kamu salah pun saya benarkan, bagiku kamu selalu tepat, tepat berada di hatiku, as always, Jan!” gumam Ade yang diam-diam mencintai Jannah.
“Air ini mengalir kemana coba? Sifat air selalu mengalir ke tempat landai, kemungkinan ini menuju air terjun, berarti kita sudah dekat dong yaa” Jannah mencoba menganalisa.
Sekali lagi, Ade dibuat terpukau
----
Mereka telah tiba di Goa Mampu dan air terjun Mittie. Sebenarnya tidak ada yang nampak istimewa selain cerita masa lalu dari goa dan mitos khasiat dari air terjun tersebut. Air terjun disebut Mittie sebagaimana berarti tetesan yang tidak deras, diyakini tetesan air dewa yang tidak pernah kering meskipun di musim kemarau. Sementara di dalam goa Mampu terdapat beberapa batu berbentuk menyerupai kepiting, kerbau, kemaluan wanita, serta adanya kuburan yang menambah mistiknya goa tersebut.
Suara jangkrik setia menemani istirahat 4 sekawan dari kabupaten “nenek mallomo” ini. Gemercik air terjun turun seakan seperti paduan suara yang berirama. Malam sungguh tidak dapat mendahului siang, Tuhan menjadikan malam melingkari siang dengan gelapnya. Malam akan terasa panjang bagi mereka dengan rasa letih yang terasa.
“Huk huk” suara batuk Ade memecah kesunyian itu.
“Angin kota ternyata tidak sama dengan angin desa yaa De, hehe“. Ponggawa mencoba mencadai temannya itu.
“Ahh ada-ada aja kamu Awa, tiba-tiba tenggorakan gatal, tidak tau kenapa yaa?” Ucap Ade yang masih batuk.
“Hey, Jan mau kemana kamu?” Ade mencoba menghentikan gerak Jannah yang bangun dari pembaringannya.
“Tenang aja, wait a minute!” Jannah meyakinkan temannya sambil berlalu.
Jannah datang dengan beberapa buah belimbing di tangan.
Ketiga temannya kemudian heran, untuk apa buah itu. Buah belimbing di kabupaten Sidrap dikenal dengan nama ceneneng sedangkan di kabupaten Bone dinamai binang. Masyarakat Bugis biasanya membuat buahnya menjadi sayur. Pohon belimbing ini banyak dijumpai dibagian depan rumah masyarakat bugis sebagai pengganti pagar.
“Nah ini bunga buah belimbing, kamu masak bunganya itu pake air yang mendidih yaa, in shaa Allah batuknya sembuh” Jannah menyodorkan beberapa bunga yang sudah dipisahkan dengan buah belimbing.
Bunga buah belimbing oleh orang Bugis dipercaya bisa menyembuhkan batuk yang diakibatkan gatal pada tenggorokan.
“Ko’kamu tahu sih Jan” Ponggawa kurang yakin sambil mempersiapkan air panas.
“Makanya berilmu” Jannah sedikit judes pada temannya yang kurang yakin itu.
“Ibn Sina telah mengkaji sejumlah besar tumbuh-tumbuhan yang diketahui pada masa itu. Beliau menyebut berbagai tumbuh-tumbuhan herba, tanaman-tanaman berbunga, jamur (fungi), ganggang (algae) dan melakukan penelitian mengenai genera tanam-tanaman berbagai spesies yang berlainan bagi setiap genus. Beliau juga membuat catatan mengenai tumbuhan yang sama dan tidak sama dan membahas tentang tempat kediaman asli (habitat) bagi setiap tumbuh-tumbuhan dan tanah yang sesuai bagi tumbuh-tumbuhan tersebut, apakah bergaram atau tidak bergaram, nah kamu sebenarnya juga bisa seperti itu Awa, tulis manfaat tanaman lokal di kampung kita dan penamaan masyarakat lokal, kamu bisa jadi pengganti Ibn Sina, hahaha” Jannah menjelaskan sambil menantang temannya itu.
“Ibn Sina juga menceritakan warna-warna bunga dan buah-buahan. Apakah keras atau kering, daunnya lebar atau sempit, bergigi atau semuanya bertepi. Beliau juga memberikan nama-nama yang bermacam-macam bagi tiap-tiap tumbuhan dan bentuk setempat. Naah, kamu juga bisa Awa, kan kamu tinggal di kampung jadi kumpul semua tanaman lokal terus namai sesuai penyebutan lokal dan list juga manfaatnya” Ade menambah penjelasan sahabat perempuannya itu sambil meliriknya berharap mendapat perhatiannya.
“Aku yes” Ucap Mario sambil menirukan gaya bintang penyanyi di acara televisi swasta itu.
“Tidak ada penyakit yang diturunkan Allah melainkan juga diturunkan obat baginya” Spontan Ponggawa berbicara menirukan apa yang pernah didengar di masjid dekat rumahnya saat Ramadhan lalu.
Ponggawa sebenarnya dikenal siswa yang cerdas sewaktu SMA tapi sayang kondisi ekonomi orang tuanya yang kurang mampu membiayainya sampai ke perguruan tinggi sehingga dia memilih melanjutkan profesi bapaknya sebagai petani.
“Hahaha kamu boleh juga jadi ustad sappo” Mario ketawa lepas sambil menggaruk belakangnya.
“Ketawa sih bole tapi saya liat kamu itu dari tadi menggaruk aja kerjanya, gatal kenapa? Untuk apa itu kamera dianggurin” Ponggawa menegur temannya itu sambil tetap memperhatikan bunga ceneneng yang masih direbusnya.
Giliran Ade beraksi. Ade mengambil serai yang berada beberapa meter dari mereka, segera dia kucek daunnya dan dibiarkan disimpan disekitar tempat tidur mereka.
“Semua bagian dari tanaman ini bisa mengusir nyamuk karena aroma zat aktif geraniol” Ade menjelaskan singkat manfaaat tanaman serai yang bisa mengusir nyamuk.
“Ada cara yang lain De” ucap Jannah sambil mengambil daun serai dan menyiapkan air di dalam gelas, mengucek daunnya dan menyimpan dalam gelas yang berisi air tersebut”
“Ahh sama saja, itu karena daunnya yang mengeluarkan aroma yang bisa mengusir nyamuk” sahut Ade yang merasa ditantang oleh pujaan hatinya itu.
“Takkan kubiarkan nyamuk menyentuhmu Jan, Aku rela mengorbankan bahkan andai serai ini tidak berguna, aku akan begadang semalam menjaga, aahh malam ini akan bercemburu pada nyamuk” Gumam Ade yang tambah kagum pada Jannah.

Malam semakin larut. Berlalu dengan canda tawa empat sekawan ini. Berbagi cerita masa lalu yang tidak saja berakhir. Di depan mereka nyata air terjun, yang dikelilingi tumbuh-tummbuhan dan goa yang penuh cerita mistik. “.... dan kamu lihat bumi kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi dan suburlah isinya menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan” Ponggawa menerawang langit berhiaskan bintang merasa bersyukur masih bisa menikmati malam seperti ini bersama sahabat karibnya yang terakhir dirasakan saat masih aktif sebagai pengurus Pramuka di sekolah.

Sidrap, Juni 2015

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati danNulisbuku.com
Read More

Senin, 06 April 2015

Sekolah Itu Hijab

Permasalahan Sekolah
“Saya telah dua hari tidak bersekolah Bang. Sepertinya sekolah ini tidak berguna. Lebih baik saya bekerja saja di sawah/ladang setelah itu mendapatkan uang” demikian kutipan yang merupakan jawaban dari seorang anak berusia 12 tahun tentang ketidaktertarikannya lagi mengikuti proses belajar di sekolah. Kisah nyata yang dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul “sekolah dibubarkan saja!” oleh seorang sosiolog asal Minang, mencoba menggambarkan bagaimana proses pendidikan yang tidak mampu menjawab kebutuhan nyata dari anak didik di sekolah.
Makna kritik yang lain dengan bahasa yang berbeda pada sebuah sinopsis buku yang ditulis oleh Roem “tak kurang dari dua belas tahun waktu yang dibutuhkan untuk bersekolah. Sungguh merupakan rentang waktu yang panjang dan bisa jadi sangat menjemukan. Apalagi kalau hanya sekedar di isi dengan duduk, mencatat, bermain dan yang paling penting mendengarkan guru ketika berceramah di depan kelas. Lalu apa hasil dari duduk-duduk selama belasan tahun itu? Lewat sekolah, seseorang bisa mendapatkan penghormatan tetapi bisa juga mendapatkan cemoohan, atau bahkan mendapatkan kedua-duanya. Ya memang sekolah mampu mencetak seorang anak manusia menjadi pejabat sekaligus penjahat”. Begitulah sinopsis dari buku “Sekolah itu candu” yang mencoba mementahkan segala eksistensi dan pentingnya sekolah bahwa peran sekolah tidak menjadi faktor utama yang menentukan masa depan seseorang.
Pada pertengahan tahun 2014 saat presiden Jokowi yang dipercaya oleh rakyat melalui pemilihan presiden untuk memimpin negeri ini, dengan berani mengangkat pejabat setingkat menteri yang tidak sempat mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi bahkan tidak menyelesaikan pendidikan jenjang menengah atas. Hal ini menjadi momentum pembuktian lagi bahwa sekolah itu tidak menjadi sesuatu yang mendesak untuk dipenuhi dalam usaha menjadi manusia bermanfaat bagi bangsa.
Busro Muqaddas (Bernas Jogja, 22 April 2014) mengungkapkan bahwa bagaimana peranan Perguruan Tinggi (PT) yang tidak hanya minim perannya dalam tata kelola, namun Sumber Daya Manusia (SDM) di PT juga tidak berperan dalam pemberantasan korupsi, termasuk dalam melakukan checks and balance. Seharusnya PT ikut berupaya merekonstruksi birokrasi yang bernafas pembebasan sistem yang korup baik melalui tradisi intelektualisme maupun evaluasi kurikulum (referensi kurikulum dan metode kuliah).
Realitas Pendidikan
Hari ini, pendidikan dapat dipandang mempunyai nilai perspektif konsumsi dan produksi (ekonomi). Perspektif konsumsi mendudukkan pendidikan sebagai yang harus dipenuhi oleh setiap orang, sehingga pendidikan dipandang sebagai sarana untuk memuaskan atau memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat pendidikan bahkan menjadi status sosial seseorang dalam lingkungan sosial. Semakin tinggi tingkat pendidikan akademik seseorang, maka akan semakin dihormati dalam kehidupan sosial. Dalam perspektif produksi, pendidikan dianggap sebagai investasi baik individu, kelompok/masyarakat ataupun bangsa. Kepentingan bangsa berkaitan dengan produk pendidikan yang sangat diperlukan bagi kelangsungan dan percepatan pembangunan. Selain itu, individu dan masyarakat/kelompok menjadikan pendidikan juga sebagai lahan investasi. Hal ini bisa kita lihat dari berkembangnya lembaga atau yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. Trend ini menjadikan bidang pendidikan semakin terkomersilkan (industri pendidikan).
Sekolah mulai dibisniskan. Pendidikan bukan lagi upaya mencerdaskan akan tetapi merupakan salah satu aset untuk mencari dan mengeruk keuntungan semata. Dana pendidikan diselewengkan, kapasitas lulusan yang tidak sesuai dengan pasar, pelatihan dan kursus yang menjamur sebagai persiapan bagi mereka yang akan dan ingin bekerja. Kalau memang sekolah menyiapkan lulusannya untuk menghadapi dunia kerja, mengapa masih marak kursus dan pelatihan yang diadakan sebelum seseorang memasuki dunia kerja? Bukankah ini bukti bahwa sekolah dan sistem pendidikan yang ada tidak membantu mempersiapkan lulusannya sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Bourdieu (2010) menjelaskan pembentukan sosial apapun distruktrukan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural, dll). Kaitan arena dalam hal ini adalah arena pendidikan dimana sekolah menjadi arena investasi pendidikan dimana kepentingan tertentu dipertaruhkan bahkan jika kepentingan-kepentingan tersebut diingkari pelakunya (pengelola), atau pasti ada ‘investasi’ tertentu meski tidak pernah diakui sebagai sebuah investasi. Ini yang disebut oleh Bourdieu sebagai arena prooduksi-terbatas. Hal ini bisa dimaknai bahwa sekolah adalah produsen dimana motif untuk memperoleh laba ekonomi biasanya disangkal dengan sebuah alasan niat pengabdian. Anak didik dijadikan sebagai konsumen dengan hasil akhir adalah kelas-kelas sosial atau fraksi-fraksi kelas (modal ekonomi/akademis).
Sekolah adalah hijab, nyatanya bisa menjelaskan realitas pendidikan hari ini. Hijab adalah dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain. Proses pendidikan pada jenjang sekolah telah berhasil membuat strata sosial baru dalam masyarakat. Bagi mereka dengan gelar tinggi akan diposisikan tinggi pula dalam sosial. Bagi mereka dengan modal besar, bisa mendapatkan modal ekonomi (kultural) tambahan dari investasi pendidikan ini. Sekolah telah berhasil menciptakan “kau” adalah “kau” dan “aku adalah “aku, bangunan sekolah itu telah memisahkan “kau” dan “aku”. Sekolah berhasil menjadi hijab nyata yang memisahkan “kita”.
Solusi
Institusi pendidikan yang hari ini kita sebut sebagai sekolah seharusnya tidak dibatasi dengan berbagai macam “tetak bengek” kebijakan, kakunya kurikulum, sampai pada hal-hal kecil dari mulai memakai seragam, model gaya rambut dan lain sebagainya. Manusia, yang disebut sebagai anak didik yang berada di dalam institusi sekolah itu seharusnya lebih mampu merasakan kebebasan, tidak dikurung dalam kelas, ruang gerak dibatasi, yang akhirnya jiwa kemerdekaannya terenggut oleh kebijakan kaku sekolah yang berujung menjadi anak penakut atau malah anak yang kebablasan (kenakalan remaja). Berilah mereka ruang ekspresi yang luas, bukannya saat anak didik itu mencoba keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh pemilik sekolah, menciptakan terobosan diluar umumnya suatu sekolah, pemerintah main hakim sendiri, tidak mau mengakui dan mengkalim mereka (anak didik) sebagai siswa nakal.
Sekolah adalah taman (1998), dimana tempat untuk menyempatkan waktu luang. Kalau hari ini sekolah dijadikan sebuah investasi pendidikan baik pemerintah maupun swasta maka sekolah haruslah mampu menjawab kebutuhan siswanya. Investasi yang memberi kenyamanan dalam proses belajar demi menunjang masa depan anak didik. Seperti sebuah taman, dimana perasaan aman dan nyaman dirasakan, begitulah semestinya sekolah dihadirkan.
Chatib (2011) menjelaskan bahwa setiap institusi sekolah di dalamnya ada manusia maka proses belajar mengajar akan berhasil apabila dilakukan secara manusiawi. Sekolah seharusnya mampu memotret keragaman gaya belajar siswa sehingga guru mampu masuk ke dalam dunia siswa. Kondisi ini akan menciptakan proses mengajar menjadi seni yang tidak bernilai dimana siswa dan guru akan menikmati proses bersama.
Bangunan sekolah yang telah menjadi investasi pendidikan ini seharusnya hadir dengan konsep manusiawi yakni memberi kenyaman dalam proses belajar dan menjawab kebutuhan siswa. Sekolah hadir dengan tidak menjadi hijab, yakni ruang pemisah antara bangunan dalam sekolah dan realitas yang ada di kehidupan sebenarnya atau menjadi ruang yang memahami bahwa setiap siswa adalah unik dengan kebutuhan yang beragam.


Read More

Selasa, 31 Maret 2015

Hujan Telah Berbeda

tik tik hujan memantul dan menari diatas langit kaliurang. Di pendopo ini dia lukiskan wajahmu pada rintik hujan di malam akhir Maret. terbesit gemerlap cahaya di langit. sambar petir seakan mengantar hati yang telah lama tanpa tuan. dia biarkannya kosong selepas perpisahan tanpa pamit.

hujan yang dulu penuh makna, nyatanya telah nampak berbeda. tak ada lagi ruang memainkan jejari diantara turunnya air.

Arpal

31 Mei 2015 
Read More

Senin, 30 Maret 2015

Hey ....

Gimana kabar mu sang Taman ? lama tak berjumpa, sungguh lama tak menjama mu. bukan sebab semata melainkan sebab seribu, seribu alasan yang tak penting.

begitu lama aku menelantarkan mu meski sadar ketikan pada "new entry" bisa begitu berharga dikemudian hari. menjadi pelajaran atau malah akan menjadi lelucon anak cucumu.

langit gelap Jogja mengantarkan pertemuan kita lagi, semoga asa tak sempat menjadi debu. biarlah menjadi asa yang terus berasa hingga terus dirasa oleh pengunjungmu.

@ JDV
30 Maret 2015
Read More

Pamit Sebab Inginmu

Perpisahan tanpa kata. kuyakinkan jiwa akan harap dan angan. biar semua pergi, hilang karena sejatinya itu tak pernah ada. yang tertinggal hanya harapan dari sisa potongan asa. yang dicabit-cabit bak maksa harimau dusta. namun kubisikkan senandung pada gesekan daun bambu tentang rindu akanmu.
semoga guntur sore ini menghantarkan pesan dari sukma yang digilas nestafa. di dekap gulana, ingat jika sudah waktunya tiba Tuhan mengirimkan jemarinya, jangankan ibundamu, eyangmu, bangsamu, bahkan leluhurmu takkan mampu hentikan petikan kecapi dan tiupan seruling asmara sang ilalang yang telah menjadi fosil

[Pisah]

JDV, 30 Maret 15
Read More

Jumat, 13 Desember 2013

Jenne Teppettu

Aqimi 'shalata lidzikn (QS Tha Ha : 20) dirikanlah shalat untuk mengingat Allah. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa tujuan dari perintah solat itu adalah untuk mengingat Allah. Adapun manfaat dari mendirikan solat itu adalah tercermin pada surah Al Ankabut ayat 29 "inna 'sh-shalata tanha 'ani 'l-fakhsyai wal munkari" sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jelas ini menjelaskan bahwa keutamaan dari melaksanakan kewajiban ini. Tentu kita bisa membedakan tujuan dan manfaat kan? seperti ketika kita bertemu dosen pembimbing skripsi yang menjelaskan perbedaan tersebut pada bab 1 :)
Seperti kamis kemarin saat berada di Al Markaz, masjid kebanggaan Sul-sel, saat sedang mendiskusikan tentang cinta Allah. Kami bersepakat bahwa cinta kepada Allah itu harus diikuti dengan aksi. Aksi yang dimaksud adalah salah satunya dengan Solat. Kalau dengan solat bertujuan mengingat Allah dan solat itu lima kali sehari maka bukankah mengingat Allah itu hanya akan terbatas. Rasanya tidak demikian. Hamba mestilah selalu Connect dengan Tuannya. Jadi teman-teman judul tulisan ini bercerita tentang mengingat Allah dan solat. selamat menyimak ;)
Sebab tidak lah mungkin menyamakan solat dengan program pendidikan di Indonesia. Pendidikan kita adalah wajib belajar 12 tahun. Esensi dari pendidikan adalah belajar. Olehnya, belajar (berpendidikan) itu hanya di wajibkan selama 12 tahun dan setelahnya terserah anda. Begitu kerdil dan sempit kalau pendidikan (belajar) itu hanya di ajurkan kita peroleh dan lakukan di lingkungan sekolah selama 12 tahun tersebut. Esensi dari solat adalah mengingat Allah. Kalau hanya mengingat selama 5 kali sehari, manalah rasa syukur kita kepadaNya yang telah memberi begitu banyak nikmat yang tak terbatas, bukannya nikmatnya ini haruslah berbalas? Tidak lah dengan menyempitkannya dengan hitungan kalkulasi semata. Sekali solat menghabiskan waktu 6 menit yang kemudian di kali dengan lima, hasilnya adalah 30 menit. 30 menit mengingat Allah dalam sehari, sisanya terserah anda. Yaa demikianlah kira-kira yang sering tersampaikan di atas mimbar Jumat, seperti yang saya dengar kemarin di Masjid dekat kost ku.
Solat lima waktu yang telah ditentukan waktunya dan prosedur yang lainnya ini merupakan solat hakikat. Di mulai dengan bersuci mengambl air wudhu, dengan gerakan menghadap kiblat berawal dengan niat dan di akhiri dengan salam ke kiri dan kanan.
Kalau anda adalah orang Bugis, maka anda mungkin pernah mendengar ungkapan ini "jenne teppettu". demikianlah yang sering menjadi pengingat orang tua di kampung. Jenne berarti wudhu dan teppettu diartikan sebagai tanpa putus. Wudhu (jenne) yang dilakukan setiap saat hendak menjalankan solat lima waktu. Jagalah "jenne" mu dapat dimaknai selalulah dalam keadaan suci. Dalam pemaknaan sederhana, dapat diartikan bahwa segala aktivitas mestinya dalam keadaan sedang bersih karena telah "majenne" (berwudhu). bukan hanya ketika mau solat lima waktu melainkan pun saat sedang keluar rumah sampai pada menjelang tidur. Hingga pada pemaknaan yang agak ribet nan ruwet ;) Pemaknaan "jenne teppettu" memiliki makna yang lebih dalam dari pada hanya memaknai sebagai bentuk wudhu dengan gerakan yang dimulai dari tangan di akhiri membasuh kaki itu. Jenne itu bersuci, maka hendaklah bersuci setiap detiknya. Artinya bahwa bersucilah secara terus menerus atau solatlah dengan tanpa henti atau ingatlah Allah tanpa melewatkan setiap detiknya. Demikianlah kognitif saya yang sedikit tumpul ini ;) memaknainya, bukan salah saya kalau salah interpretasi, sebab orang tua belum pernah secara langsung dan tegas menyampaikan arti sesungguhnya atau mungkin karena wahyu belum turun, yaa tidak mungkinlah sebab jelas Muhammad adalah utusan terakhir, naa ane ngutus diri sendiri ke jalan benar belum mampu.
Sekali lagi ingin menginterpretasi (bebas saja sebab ini adalah blog saya, kalo keliru bole comment di bawah ;) ) sekali lagi kembali ke laptop, pada surah Tha Ha di atas bahwa solat itu mengarah pada mengingat Allah. artinya bahwa dalam hidup ini, di anjurkan untuk mengingat Allah setiap saat. Ini berarti bahwa, sebaiknya kita melaksanakan solat (mengingat) setiap saat pula. Sehingga solat kita bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban melainkan mendirikan solat dengan tetap berada dalam keadaan salat yang terus menerus tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan solat lima waktu dan sunnah, solat yang dilaksanakan setiap saat ini di sebut sebagai solat solat daim, surah Al Ma'arif ayat 70 menjelaskan bahwa "alladzinahum 'ala shalatihim daimun yaitu  orang-orang yang tetap dalam keadaan shalat (mengerjakan solat terus menerus). Nah adakan solat yang bisa dilakukan tanpa henti dan mengenal waktu. Cintailah Allah dengan Aksi. Mengingat Allah juga merupakan aksi, malah bagi saya inilah yang amat direkomendasikan. Aksi mengingat Allah yang terus menerus, yang selalu connect. Bukankah terasa nyaman kalau terus terhubung? kapan pun bisa di panggil, tanpa emergency number ;) Pertanyaannya adalah gimana caranya sob? ini masih peninggalan orang tua saya yaa, jadi bole ikut bole kaga'. Menurut ortu saya, ingatlah nafasmu nak, karena itulah kita hidup. Rasakan keluar dan masuknya, caranya adalah dengan menghirup napas sembari membatin lafadz "Hu" dan menghembuskan seraya membatin lafadz "Allah". Ungkapan Bugisnya adalah "Allah tama, Allah messu". Semoga Allah SWT selalu meneduhkan akal dan hati kita sebagai ungkapan penghambaan kita Hanya KepadaNYA.
14.12.13 - 08.56 AM. Makassar
Read More

Kamis, 12 Desember 2013

Musim Hujan Pun Musim Mangga

Saat musim hujan mulai menampakkan dirinya di akhir bulan November. Anak di kampung seumuran diriku mulai mengatur strategis. Biasanya musim hujan juga diiringi dengan musim tanam padi. Saat itu lah angin mengikuti hujan sering berhembus. Buah mangga pun mulai masak di pohonnya. Pemilik mulai bersiap memungut buah yang jatuh dari pohon atau ada pula yang memanggil orang sewaan untuk memanjak pohon miliknya. Pohon mangga "macang" demikian kita menyebutnya, begitu enak di makan apalagi kalau ditemani dengan "sokko" yang terbuat dari beras ketan, ada yang hitam maupun putih.
Anak-anak mulai bersorak mengatur cara bisa memanjak atau hanya sekedar menunggu buah jatuh dari pohon, yang terletak di depan tempat tinggal ku. Sebut saja pemiliknya bernama Mena. Seorang ibu dengan satu anak perempuan yang saat itu sedang menyelesaikan kuliahnya di pusat ibu kota provinsi. Mena, seorang janda pekerja ulet. Setiap jadwal pasar di kampung kami, dia menjual "apang" di pasar yang tak begitu jauh dari rumahnya. "Apang" terbuat dari gula merah (aren) sebagai bahan utama, ukurannya sebesar telapak tangan berwarna kecokelatan. "Apang" akan terasa lebih nikmat apabila disandingkan dengan kelapa yang sudah di parut. Cara makannya kira-kira seperti mencelupkan "Oreo" di tea hangat. Rasanya yang manis di tambah dengan kelapa tua yang telah di parut itu, rasanya menjadi kira-kira seperti perasaan cintanya Zulaikha pada nabi Yusuf, nice bin delicious :)
Setiap pagi buta, setelah solat subuh, dia telah berjalan kaki menuju pasar. Penjual di pasar memang biasanya lebih pagi datang menyiapkan jajanannya. Tak jarang pun pada hari minggu, saya dan beberapa teman, setelah solat subuh jamaah juga mengunjungi pasar. Tidak lah mengherankan karena pasar lah sebagai tempat satu-satunya hiburan di kampung ini. Biasanya, pasar kedatangan tamu istimewa yang entah berasal darimana. Menggunakan mobil pick up dengan membawa microphone beserta jajanannya yaitu obat. Kami menyebutnya sebagai "pabbalu pabbura". Menjual obat dengan cara marketing yang sedikit berbeda atau malah jauh berbeda bila di bandingkan dengan pak Nambo, perawat di kampung kami, yang hanya menunggu di rumah karena di datangi langsung oleh klien. Pabbalu pabbura ini layaknya komedian, tapi pun bisa menjadi juru selamat. Tidak sedikit yang membawa binatang atau alat-alat yang berbau magis sambil berteriak layaknya ustad yang sedang berceramah. Tak lama kemudian, ramuannya pun di keluarkan dengan tawaran berbagai diskon. Moment ini lah yang paling saya senangi, melihat sang penjual obat berceloteh sambil membayangkan diriku kelak mampu berbicara di depan orang yang lebih banyak.
Saat musim mangga lah, Mena akan merasa lebih senang karena itu berarti akan menambah penghasilannya. Selain "apang" yang sudah terkenal sekelurahan sebagai produk andalan, dia bisa menjual pula hasil panen pohon mangga yang berdiri di sekitar rumahnya itu. Dia memiliki beberapa pohon mangga dengan berbagai jenis. Tinggal sendiri dengan luas lahan rumah tidak membuat dia takut, mungkin karena juga bertetangga dengan kantor polisi di kecamatan ini.
Kami, anak yang tak tau diri ini, dengan segerombolan merasa bangga saat bisa memungut mangga milik pengusaha "apang" ini. Mendung tak berarti hujan, bagi kami tak penting karena dimana-mana saat mendung maka angin menyertainya terlebih dahulu. Saat itulah, kami beraksi. Angin akan menjadi berkah buat kami. semakin kencang anginnya, kesempatan merasakan nikmatnya irisan mangga "macang" semakin terbuka. Tak ada kesetiakawanan saat buah mangga jatuh dari pohonnya. Yang ada hanya kompetisi. Siapa yang cepat bergerak, dialah yang dapat. Tidak mudah memang dalam kompetisi ini, tidak selayak lari karung atau manjat pinang yang licin saat 17 an yang terang-terangan. Kali ini kami harus berhati-hati, bergerak dengan cepat dengan menjaga gerakan sentuhan kaki ke tanah, bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada tawa untuk sesaat. Yang ada hanyalah berbisik agar tak ketahuan.
Selain mangga yang masak, tak jarang pula ada mangga yang masih muda pun ikut jatuh. Saat kami sukses, bukan main senangnya. rumah ku yang merupakan pinjaman pemerintah itu (rumah dinas puskesmas) menjadi markas terselubung. Tapi saya senang tentu saja karena peluang memperoleh bagian lebih banyak mesti saya rasakan. Bagaimana tidak, saya juga harus membayar lebih dengan mengambil bahan dapur orang tua. Mangga yang masih muda tentu saja harus dengan bantuan bahan racikan. Pisau menjadi alat utama, dengan tambahan garam, kecap dan biji lombok yang biasanya saya petik depan rumah, hasil tanaman bapak pun harus direlakan. Yang mengiris buah pun tentu harus mendapatkan jatah yang berbeda. Dia juga mendapatkan jatah lebih seperti diriku. Dengan alasan ini, 'profesi dadakan' ini menjadi rebutan setelah 'panen'. Beginilah adil menurut para petani tanpa lahan. Tak ada hitam di atas putih melainkan hanya saling tahu satu sama lain.
Namun, berbeda dengan mangga yang telah masak, lebih sering kami makan dengan secara langsung. Kebiasaan ini kami sebut "makkekke", menggigit kulit yang tentunya telah lembek dan memakan bagian kulit dalam mangga satu persatu hingga habis, bahkan sampai menjilat saat masih ada tersisa di kulit dalamnya tersebut. Yang lebih menyenangkan, kulit itu menjadi kompetisi selanjutnya. Kami biasanya menendang sekencang-kencangnya secara satu per satu. Jarak tendangan yang terjauh menjadi pemenang. Memang tak ada piala, tapi entah kebiasaan ini sangat menyenangkan.
13.12.13 - 15.25 PM / Makassar
Read More

Senin, 09 Desember 2013

Selayak "Green Psychology"



Empat tahun yang lalu ketika masih berstatus mahasiswa pada kampus biru “Makassar” sesuai dengan program akademik mengharuskan mahasiswa untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kuliah secara nyata bersentuhan dengan masyarakat, saya mendapat lokasi belajar di daerah pinggiran Kabupaten Wajo berbatasan dengan kabupaten Sidrap menyisahkan banyak cerita. Mulai dari perjalanan yang agak kacau dengan lubang di mana-mana sampai pada kondisi rumah yang di tempati tak memiliki toilet. Penempatan mahasiswa hanya di desa yang kemudian di bagi ke beberapa dusun. Saya mendapatkan dusun yang paling ujung dari desa tersebut dan berbatasan langsung dengan danau Tempe. Sebagai seorang yang mengkoordinir kegiatan KKN ini mengharuskan saya untuk selalu mobile antar dusun melihat realisasi program kerja atau hanya sekedar say hallo. seperti KKN sebelumnya, mata kuliah yang telah banyak menghasilkan alumni ini, program kerja selalu diarahkan pada pengembangan pembangunan fisik lokasi. Serupa dan tetap sama saja, begitupula yang kami lakukan, pengecetan pagar kantor desa, tapal batas desa, pembuatan gapura dusun, pengecetan masjid, dan lainnya.
Bagi saya pribadi, kehidupan masyarakat di lokasi ini begitu komplit dan kompleks. Komplit karena lokasi ini di tinggali oleh penduduk desa yang rajin, teramat rajin, hingga di pagi hari bahkan sebagian sebelum matahari terbit, mereka telah keluar rumah menuju sawah. Dusun yang saya tinggali begitu sepi di pagi hari dan akan sangat begitu ramai menjelang maghrib. Semangat kerja keras dari warga ini juga didukung oleh tanah di lokasi ini yang begitu subur. Lahan yang ditanami jagung juga bisa ditanami cabe di antara pohon jagung tersebut. Lahan mereka tidak pernah nganggur. Tiap tahun selalu berporduksi dengan berbagai macam tanaman sayuran.
Apa yang membuatnya demikian kompleks. Yaa, kepercayaan agama mereka yang masih mempercayai selain Wujud Esa Tuhan. Tepatnya di dusun saya, beberapa lokasi sesajen diperuntukkan untuk sesuatu yang gaib yang dianggap penguasa bumi. Namun ada yang unik dari cara yang mereka lakukan, di tempat lain biasanya akan mendatangi kuburan atau pohon besar. Namun di sini, selain kuburan dan pohon, para penyembah ini membawa karikatur rumah dan boneka. Keduanya ditempatkan pada lokasi yang memang telah ditentukan (sekitar kuburan dan lahan sawah). Mereka menganggap karikatur rumah itu akan benar-benar bisa nyata dimiliki kelak. Olehnya tidaklah mengherankan kalau karikatur rumah itu kelihatan mewah. Sedang boneka yang dibawa, bisa berupa buatan sendiri atau yang dibeli dari toko. Mereka merefleksikan boneka tersebut adalah mereka.
Hal lain yang nampak menjadi unik adalah pemuda di sana yang banyak memiliki moge (motor gede). Melihat kondisi jalanan mestinya tidak cocok dengan motor sebesar itu. Tapi, dari mana mereka membelinya. Mereka, para pemuda yang tamat SMA pun tidak tapi ternyata punya jiwa bisnis luar biasa. Mereka itulah yang sering menjumpai layar hape teman-teman dalam bentuk minta pulsa atau menang undian. Profesi dikalangan mereka sebut sebagai halo-halo, penyebutan ini karena setelah mendapat balasan dari calon korban, mereka kemudian berbicara (halo-halo) dengan kliennya.
Pengalaman KKN ini terasa ter-recall kembali karena hampir saja mendapatkan pengalaman yang sama. Bersama Skholatanpabatas pengalaman baru dimulai. Filed work dengan peserta dari berbagai kampus di Kota Makassar baik PTN maupun PTS menjadikan moment ini demikian kaya dengan beragama latar belakang pendidikan. Diantara mereka terdapat teman-teman relawan Skholatanpabatas yang telah terlibat dengan Skhola serta mereka yang belum pernah terlibat dengan lembaga ini.
Perjalanan dari kota Makassar menuju lokasi kegiatan sekitar 1 jam 20 menit. Kelurahan Langkeang, Maros terletak sekitar 20 menit dari arah barat ibu kota kabupaten Maros. Sepanjang perjalanan, mata akan di’hadiahi’ dengan pandangan sawah yang masih hijau atau beberapa petani yang masih menanam padi. Beberapa bukit batu diantara sawah juga nampak mempercantik pemandangan. Rumah panggung khas Bugis mempertegas bahwa kita sedang berada di wilayah masyarakat Bugis.
Kebiasaan mahasiswa yang tinggal di kota Makassar tentu saja berbeda dengan pola hidup warga yang ada di desa. Kebiasaan sehari-hari tentu lebih memudahkan dan menyenangkan bagi mahasiswa yang tinggal di kontrakan atau bersama orang tua dengan fasilitas yang jauh lebih lengkap dibanding kondisi yang ada di Langkeang. Kebiasaan yang cenderung instan dengan kehidupan sosial yang mengarah pada pemenuhan akan diri sendiri, tentu berbeda jauh dengan apa yang terjadi di Langkeang. Perkampungan ini masih memegang nilai-nilai sosial dalam hidup berdampingan dengan tetangga. Hal yang berbeda pada kehidupan perkotaan, dimana toleransi dan menjadi bagian satu sama lain merupakan nilai hidup yang sedikit demi sedikit tergeser.
Canda dan gurau masih bisa kita tatap pada sumur bersama yang dimanfaatkan oleh beberapa warga, seakan sedang melingkar bersidang tentang kerasnya hidup dewasa ini. Mata kita masih mampu melihat deretan masyarakat yang sedang tertawa dengan riuh di sepanjang aliran sungai. Gotong royong masih mampu kita rasakan di antara warga Langkeang. Demikian pula kita bisa melihat kebiasaan pada  pemenuhan sehari-hari warga dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Beternak, berkebun, bertani, berdagang di pasar tradisional, memanfaatkan pangan lokal di lingkungan sekitar untuk makanan sehari-hari serta sikap hidup yang bersahaja inilah menjadikan Langkeang sebagai potensi belajar bagi masyarakat/mahasiswa perkotaan pada hari ini dan kelak hari. Langkeang siap menjadi layaknya skhola kehidupan yang sesungguhnya.
Cerminan realitas masyarakat Langkeang ini dikemas dengan konsep live in dimana peserta tinggal bersama di rumah warga selama 3 hari menjadikan moment yang akan sulit terlupakan. Peserta akan mendapatkan orang tua angkat selama berada di sana sesuai dengan rumah yang ditinggali. Hidup bersama orang tua angkat dengan mengikuti aktifitas kesehariannya menjadikan pelajaran hidup yang menyenangkan. Meet and talk adalah saat peserta mampu bercerita banyak dengan orang tua angkat mereka. Berbagi kehidupan dalam sebuah cerita yang beragam akan memperkaya pengayaan pengetahuan para peserta.
Melihat potensi perkampungan merupakan hal yang juga penting untuk dilakukan sebagai bahagian dari proses pembelajaran. Konsep field work menjadikan keinginan ini akan lebih mudah tercapai. Pemetaan potensi Langkeang berdasar pada pendekatan Education for Sustainable Development (Pendidikan Untuk Pembangunana Berkelanjutan) memberi kesempatan peserta untuk mengembangkan metode dengan hasil maksimal. Pemetaan wilayah dengan melihat beberapa isu yang ada di sekitar Langkeang berdasar pada kebutuhan atau ketertarikan dari peserta. Hal ini bisa kita lihat pada isu seperti sampah, saluran air, MCK, ternak, mata pencaharian, pemberdayaan pemuda, dan pelayanan kesehatan.
Beragam isu yang hendak diketahui merupakan kesepakatan dari setiap peserta sebagai hasil brainstorming. Dari isu tersebut maka peserta akan dikelompokkan berdasar pada ketertarikan peserta akan isu yang hendak diketahui. Penggalian informasi dilakukan dengan metode observasi dan wawancara. Isu sosial ini merupakan guide secara tidak langsung bagi peserta untuk mencari informasi baik dengan observasi maupun wawancara. Keramahan masyarakat Langkeang akan memudahkan peserta dalam menggunakan teknik yang akan dilakukan dalam proses OW tersebut. Sebagai misal, peserta menggunakan tape recording, rekaman video, atau hanya sekedar bersenda gurau saat warga sedang melakukan aktifitas.
Education for Sustainable Development (ESD) memungkinkan peserta untuk belajar melihat bagaimana realitas sosial, lingkungan dan ekonomi yang ada di sekitar perkampungan. Beragam isu di atas merupakan hasil turunan dari ketiga aspek sosial, lingkungan dan ekonomi. Arah dari OW juga tidak akan lepas dari penggalian akan ketiga unsur tersebut. Sebagai contoh dalam melihat pemberdayaan pemuda yang ada di Langkeang. Hal yang bisa dilihat dari aspek sosial adalah bagaimana pemuda memanfaatkan waktunya, apakah dengan menjadi petani atau bekerja pada perusahaan terdekat. Kebiasaan merantau juga hal yang menarik untuk dicermati. Apakah mereka para pemuda mampu bergaul dengan baik dengan lingkungan sekitar (pemuka desa dan agama), ataupun hal yang lain yang merasa dibutuhkan untuk melihat pemberdayaan pemuda Langkeang. Beranjak dari realitas keberadaan pemuda tersebut, apa yang memungkinkan dilakukan dan dikembangkan oleh pemuda untuk memaksimalkan potensi diri dan desa. Pada aspek ekonomi, dari kegiatan mata pencarian yang sekarang dilakukan, yang umumnya bertani dan bekerja pada perusahaan, apakah telah mampu memenuhi kebutuhannya atau ada alternative lain yang bisa dilakukan. Pertimbangan aspek lingkungan tentu juga hal yang harus dilihat, keterlibatan pemuda bekerja pada perusahaan terdekat, bisa saja telah mampu menambah penghasilan, namun apakah perusahaan tersebut mampu bertahan lama dan tetap memakai jasa pemuda lokal, ataukah hanya akan meninggalkan kerusakan lingkungan kampung di kemudian hari. Tentu saja ini akan berimbas pada mata pencarian yang lain seperti lahan pertanian.
Pada isu pelayanan kesehatan, bagaimana pemanfaatan lingkungan yang ada di sekitar rumah, berbagai macam tumbuhan mungkin bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan. Dengan adanya pengobatan tradisional ini maka akan mengurangi pengurangan (ekonomi) warga karena tidak perlu lagi ke puskesmas atau dengan adanya tumbuhan tradisional tersebut mungkin bisa dijadikan sebagai tambahan penghasilan dengan memberi nilai tambah pada tumbuhan tersebut. Keberadaan dukun (sandro) yang masih dipercayai oleh masyarakat akan berdampak pada kehidupan secara menyeluruh. Usaha memaksimalkan posyandu sebagai bentuk pelayanan kesehatan dari pemerintah, serta kios yang ada di sekitar yang juga menjual obat menjadi pertimbangan sosial dalam melihat pelayanan kesehatan.
Begitupula kita bisa melihat isu yang lain dengan tetap berpatok pada ketiga aspek di atas (lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya). Dengan menggunakan pendekatan ESD ini maka memungkinkan peserta untuk melihat sebuah fenomena sosial secara terperinci dan menyeluruh. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Memahami secara berimbang realitas sosial yang terjadi dan mampu berfikir secara holistic dalam merancang masa depan yang mampu berkelanjutan.
Hasil dari pencarian informasi di lapangan yang berdasar pada beragam isu tersebut, kemudian dipresentasikan. Beragam cara yang dilakukan dalam mempresentasikan hasil kajian lapangan. Cara yang bisa dilakukan dengan memakai metode mind mapping, short movie, slide, drama, gambar dan lainnya. Agar semua peserta dalam kelompok mengetahui semua hasil kerja lapangan maka presenter dari perwakilan masing-masing kelompok dipilih oleh fasilitator. Pemilihan perwakilan kelompok juga dilakukan dengan cara yang berbeda dari biasanya. Pemilihan bisa dilakukan dengan mengetahui siapa yang paling muda di antara teman kelompok, jempol tangan paling besar, atau petunjuk lainnya. Hal ini dilakukan agar hasil informasi lapangan yang dikemas dalam bentuk presentasi tersebut diharapkan dipahami merata oleh semua anggota kelompok.
Dari program ini tentu saja diharapkan peserta akan berfikir dan tergerak untuk berbuat lebih bermanfaat bagi lingkungan dan sesama. Dalam melihat sebuah fenomena akan selalu mempertimbangkan sebab akibat dari beragam aspek hingga pada penemuan titik keseimbangan yang akan berdampak pada keberlangsungan.
Skholatanpabatas saat Di Langkeang, Maros#






Read More